saefur Rohman / Kebumen Ekspres |
Pantauan koran ini, warga memadati area pertunjukan. Mereka pun larut dalam irama rancak serta penampilan para seniman ebleg yang kemarin menggunkan kostum merah bercorak putih lengkap dengan selendang. Para seniman ebleg ini meliuk dan menari seiring musik rancak dari gamelan yang ditabuh wiyaga.
Rintik hujan yang turun ditengah pertunjukan tak menyurutkan minat warga menikmati pertunjukan. Apalagi, saat para seniman ebleg mengalami trance (kesurupan). Pertunjukan semakin memikat. Puncaknya, saat para penonton dari kalangan anak-anak remaja juga ikut kesurupan. Bahkan ada juga penonton wanita yang juga ikut kesurupan.
"Itu biasa Mas. Yang kesurupan dari mereka biasanya juga pemain ebeg," kata Parlan (50) salah satu warga Tamanwinangun.
Pimpinan Ebeg Singa Mataram, Sigit Riyanto, mengatakan pertunjukan ebeg Singa Mataram sebenarnya sering dilakukan. Terbaru, grup ebeg asal wilayah Kebumen kota itu baru saja pentas di kompleks jalan Malioboro Yogyakarta. "Selu ramai penonton, ini kalau nggak hujan pasti lebih ramai, kita sering pentas terakhir di Jogja," katanya.
Grup Ebeg Siga Mataram sendiri memiliki jumlah peserta sekitar 25 orang. Terdiri dari pemain musik hingga penari kuda lumping hingga pawang yang menyembuhkan pelaku ebeg yang kesurupan.
"Ebeg Singa Mataram ini sudah sejak dulu. Ini turun temurun. Dulu jaman saya muda terkenalnya nama Ebeg Pak Parijo karna dia yang memimpin tapi kesenian ini asli dari kerajaan Mataram sekarang kami namai Singa Mataram," kata Mbah Wewed Suryono (69) Wakil Pimpinan Ebeg Singa Mataram.
Mbah Wewed menjelaskan Ebeg Singa Mataram memiliki ciri khas. Antara lain dari sendiri yakni dari segi iringan musik yang tidak pernah berhenti jeda sekalipun telah berganti lagu. Ada banyak lagu yang dibawakan saat satu kali tampil mulai dari irama awal yang santai hingga ketukan yang kencang saat para lenari mulai keranjingan. "Ada banyak lagu mulai dari Ricik - ricik, eling - eling, geculan, riti - riti, Gudril. Reno - reno sampai Mayang sewu," kata Wewed sembari menabuh kendangnya.
Selain itu usai musik berhenti para penari yang kerupan satu persatu mulai disadarkan. Mereka sadar usai dituruti dari apa yang sesaji ia minta. "Asal sudah dituruti mau makan sesaji apa nanti baru bisa sembuh, " kata Turoso (66) salah satu perempuan yang menjadi pawang penari kesurupan.
Selain itu Sigit Riyanto, menambahkan pertunjukan Ebeg atau kuda lumping ini merupakan salah satu upaya melestarikan tradisi dan budaya Indonesia khusus Kabupaten Kebumen. Dengan tarian ini ia berharap generasi muda saat ini mau melanjutkan dan meneruskan budaya lokal untuk menjadi warisan nenek moyang. (fur)