JAKARTA - Jumlah korban meninggal pasca pelaksanaan pemilihan umum (pemilu) serentak legislatif dan pemilihan presiden (pilpres) pada 17 April lalu, bertambah menjadi 139 orang petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS), dan 548 orang dilaporkan sakit.
Menanggapi kejadian ini, Wakil Ketua DPR RI, Fahri Hamzah kepada wartawan di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (24/4/2019), menyatakan kalau kejadian tersebut bukan lah hal yang wajar, mengingat banyaknya korban yang meninggal dan jatuh sakit.
"Itu nggak normal. Orang dikasih kerjaan, terus sampai meninggal ratusan itu nggak normal loh. Jangan dianggap normal. Peristiwa ini sangat memprihatinkan," katanya.
Menurut Fahri tidak ada di dunia ini, di negara demokrasi mana pun pemilu yang memakan korban hingga ratusan orang meninggal dunia, ribuan yang sakit seperti pemilu di Indonesia ini. Bahkan, sampai ada korban sosial berupa disintegrasi yang menjaga, ada korban ekonomi karena harus mengeluarkan dana lebih dari 26 triliun, juga korban politik yang tidak stabil dalam kurun yang begitu lama.
"Jadi korban yang begitu besar ini harus segera diakhiri. Ini terjadi akibat adanya kesalahan sistemik dalam cara kita menata regulasi dan kelembagaan pemilu, serta juga kultur daripada petugas pemilu kita," cetusnya lagi.
Kendati bukan di Komisi II DPR dan tidak ikut membahas Undang-Undang Pemilu dan Partai Politik (Parpol), namun Fahri menilai kalau kejadian yang tidak normal tersebut akibat sistem yang sejak awal diterapkan dalam Undang-Undang Pemilu itu salah disain, sehingga korbannya banyak.
"Nah, karena itu sebetulnya yang diperlukan adalah kearifan dari kita semua untuk mengakhiri problem yang terulang dalam setiap Undang-Undang Pemilu kita," kata inisiator Gerakan Arah Baru Indonesia (GARBI) itu.
UU Parpol dan Pemilu selalu dibahas diujung, tanpa investigasi menyeluruh tentang bagaimana sebuah disain sistem yang lubangnya itu tidak ada. Sehingga kalau orang mau melakukan satu kesalahan dalam sistem itu, tidak bisa karena sudah ditutup.
"Sekarang bagaimana coba? 813 ribu TPS itu, orang disuruh saksi masing-masing. Dan sudah saya cek, ternyata orang ini nggak sanggup membayar saksi, sehingga banyak sekali TPS yang tidak imbang. Di situlah ruang permainannya," sebut dia.
Karena itu, Fahri mengusulkan agar KPU dan Bawaslu lebih aktif merespon segala kecurangan yang disampaikan oleh masyarakat, jangan hanya sekali kali saja. Bila perlu, harus ada juru bicara atau petugas yang stand by (siap) setiap saat untuk menjelaskan ke publik.
"Harus ada jubir yang siap dan duduk 24 jam ngadapin wartawan, ngetik di sosial media dan sebagainya. Tapi yang saya perhatikan, web site nya KPU juga Bawaslu nggak melakukan itu. Pada hal yang bekecamuk itu di sosial media. Ini harusnya dijawab langsung," saran Anggota DPR RI dari Dapil Nusa Tenggara Barat (NTB) itu.
Fahri juga mengatakan, kekisruhan dalam pelaksanaan pemilu ini juga menjadi evaluasi presiden sebagai pengusul atas perubahan UU Pemilu dan Parpol, juga bahan evaluasi bagi parpol yang tidak inpenden atas kepentingan-kepentingan jangka pendek, yang dari awal merancang sistem pemilu ini berlubang.
"Maka kita harus berjanji pada diri kita sendiri bahwa kita tidak akan legi mendisain sistem pemilu yang begini kacau dan rusak. Cukuplah ini yang terakhir," tambah Fahri Hamzah.
Terpisah, menyikapi pemilu 2019 yang telah memakan banyak korban, Direktur Eksekutif Indonesia Political Review (IPR), Ujang Komarudin mengatakan sistem Pemilu Indonesia memang sejatinya harus dirubah.
"Design Pemilunya salah. UU Pemilu juga berubah setiap menjelang Pemilu. Akhirnya UU yang ada tidak membuat Pemili lebih baik. Yang ada Pemilu makin rusak," Ujarnya ke Fajar Indonesia Network di Jakarta.
Lebih jauh, Akademisi Universitas Al-Azhar Indonesia ini kembali menambahkan, Pemilu serentak Pileg dan Pilpres membuat masyarakat, penyelenggara pemilu, dan peserta pemilu, shock, gagap, dan tidak siap.
"Akhirnya banyak penyelenggara pemilu yang meninggal dan sakit. Pemilu serentak ini perlu dievalusi. Agar tidak memakan korban di pemilu-pemilu berikutnya," tandasnya.(by/fin)
Menanggapi kejadian ini, Wakil Ketua DPR RI, Fahri Hamzah kepada wartawan di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (24/4/2019), menyatakan kalau kejadian tersebut bukan lah hal yang wajar, mengingat banyaknya korban yang meninggal dan jatuh sakit.
"Itu nggak normal. Orang dikasih kerjaan, terus sampai meninggal ratusan itu nggak normal loh. Jangan dianggap normal. Peristiwa ini sangat memprihatinkan," katanya.
Menurut Fahri tidak ada di dunia ini, di negara demokrasi mana pun pemilu yang memakan korban hingga ratusan orang meninggal dunia, ribuan yang sakit seperti pemilu di Indonesia ini. Bahkan, sampai ada korban sosial berupa disintegrasi yang menjaga, ada korban ekonomi karena harus mengeluarkan dana lebih dari 26 triliun, juga korban politik yang tidak stabil dalam kurun yang begitu lama.
"Jadi korban yang begitu besar ini harus segera diakhiri. Ini terjadi akibat adanya kesalahan sistemik dalam cara kita menata regulasi dan kelembagaan pemilu, serta juga kultur daripada petugas pemilu kita," cetusnya lagi.
Kendati bukan di Komisi II DPR dan tidak ikut membahas Undang-Undang Pemilu dan Partai Politik (Parpol), namun Fahri menilai kalau kejadian yang tidak normal tersebut akibat sistem yang sejak awal diterapkan dalam Undang-Undang Pemilu itu salah disain, sehingga korbannya banyak.
"Nah, karena itu sebetulnya yang diperlukan adalah kearifan dari kita semua untuk mengakhiri problem yang terulang dalam setiap Undang-Undang Pemilu kita," kata inisiator Gerakan Arah Baru Indonesia (GARBI) itu.
UU Parpol dan Pemilu selalu dibahas diujung, tanpa investigasi menyeluruh tentang bagaimana sebuah disain sistem yang lubangnya itu tidak ada. Sehingga kalau orang mau melakukan satu kesalahan dalam sistem itu, tidak bisa karena sudah ditutup.
"Sekarang bagaimana coba? 813 ribu TPS itu, orang disuruh saksi masing-masing. Dan sudah saya cek, ternyata orang ini nggak sanggup membayar saksi, sehingga banyak sekali TPS yang tidak imbang. Di situlah ruang permainannya," sebut dia.
Karena itu, Fahri mengusulkan agar KPU dan Bawaslu lebih aktif merespon segala kecurangan yang disampaikan oleh masyarakat, jangan hanya sekali kali saja. Bila perlu, harus ada juru bicara atau petugas yang stand by (siap) setiap saat untuk menjelaskan ke publik.
"Harus ada jubir yang siap dan duduk 24 jam ngadapin wartawan, ngetik di sosial media dan sebagainya. Tapi yang saya perhatikan, web site nya KPU juga Bawaslu nggak melakukan itu. Pada hal yang bekecamuk itu di sosial media. Ini harusnya dijawab langsung," saran Anggota DPR RI dari Dapil Nusa Tenggara Barat (NTB) itu.
Fahri juga mengatakan, kekisruhan dalam pelaksanaan pemilu ini juga menjadi evaluasi presiden sebagai pengusul atas perubahan UU Pemilu dan Parpol, juga bahan evaluasi bagi parpol yang tidak inpenden atas kepentingan-kepentingan jangka pendek, yang dari awal merancang sistem pemilu ini berlubang.
"Maka kita harus berjanji pada diri kita sendiri bahwa kita tidak akan legi mendisain sistem pemilu yang begini kacau dan rusak. Cukuplah ini yang terakhir," tambah Fahri Hamzah.
Terpisah, menyikapi pemilu 2019 yang telah memakan banyak korban, Direktur Eksekutif Indonesia Political Review (IPR), Ujang Komarudin mengatakan sistem Pemilu Indonesia memang sejatinya harus dirubah.
"Design Pemilunya salah. UU Pemilu juga berubah setiap menjelang Pemilu. Akhirnya UU yang ada tidak membuat Pemili lebih baik. Yang ada Pemilu makin rusak," Ujarnya ke Fajar Indonesia Network di Jakarta.
Lebih jauh, Akademisi Universitas Al-Azhar Indonesia ini kembali menambahkan, Pemilu serentak Pileg dan Pilpres membuat masyarakat, penyelenggara pemilu, dan peserta pemilu, shock, gagap, dan tidak siap.
"Akhirnya banyak penyelenggara pemilu yang meninggal dan sakit. Pemilu serentak ini perlu dievalusi. Agar tidak memakan korban di pemilu-pemilu berikutnya," tandasnya.(by/fin)