JAKARTA - Peluang merapatnya PAN dan Demokrat ke koalisi Jokowi-Maruf Amin cukup terbuka. Seperti dikatakan Ketua Dewan Pengarah Tim Kampanye Nasional (TKN) Jusuf Kalla (JK), pada dasarnya politik berjalan secara dinamis.
JK lantas mencontohkan Pemilu 2014. Saat itu setelah selesainya coblosan, Partai Golkar dan PAN yang sebelumnya mendukung Prabowo-Hatta Radjasa merapat ke Jokowi. "Yang lima tahun lalu mendukung Prabowo kemudian mendukung Pak Jokowi," kata JK saat ditemui di kantor wakil presiden kemarin (14/5/2019).
Dengan bergabungnya kader dua partai masuk kabinet, menurut dia, kondisi tersebut sudah biasa dalam perpolitikan. JK menyatakan, PAN tentu sudah memiliki pandangan politik setelah pelaksanaan pemilu. "Yang jelas, seperti PAN akan menerima siapa saja yang menang," tuturnya.
Meski demikian, JK mengungkapkan bahwa dirinya tidak terlibat lagi untuk pembahasan pemerintahan yang akan datang. Termasuk soal masuknya penumpang baru dalam koalisi Jokowi-Maruf Amin.
JK juga berkomentar soal sejumlah menteri yang tersangkut perkara korupsi di KPK. Saat ini setidaknya ada dua menteri yang tersangkut kasus korupsi. Mereka adalah Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin yang pernah diperiksa sebagai saksi atas kasus yang menimpa mantan Ketua Umum PPP Romahurmuziy.
Kemudian, ada Menpora Imam Nahrawi yang juga pernah menjadi saksi dalam persidangan kasus korupsi anak buahnya. "Mereka itu kan baru dalam status saksi. Belum ada menteri yang TSK (tersangka, red)," katanya.
Jika ada menteri yang berstatus tersangka, menurut JK, otomatis mereka mendapat perhatian dan memungkinkan ada reshuffle. Namun, kalau sebatas dikatakan menerima gratifikasi tetapi tidak ada bukti, tidak bisa serta-merta mereka dipecat sebagai menteri.
Terpisah Pengamat Politik Maruli Hendra Utama berpendapat jelang pengumuman pemenang Pilpres 2019 oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), koalisi pasangan capres-cawapres Prabowo Subianto-Sandiaga Uno semakin tidak solid. Dia pun memprediksi Partai Demokrat dan PAN akan hengkang dari Koalisi Adil dan Makmur itu.
"Jelang 22 Mei trennya eskalasi makin turun, di lingkungan koalisi sudah enggak solid. Demokrat yang sudah agak jelas keluar, PAN yang enggak mau ikut-ikutan dengan model-model seperti sekarang. Artinya yang turun ke jalan ini Gerindra plus jamaah Ijtima Ulama," terangnya.
Terkait dengan hasil Pemilu 2019, Maruli memprediksi tidak akan ada pengerahan people power. Sebab, kata dia, yang tersisa dari koalisi nantinya hanya Partai Gerindra dan peserta Ijtima Ulama saja.
"PAN tidak mau cara-cara begitu. PKS mana ada yang mengatakan kecurangan, coba cek lagi deh. Tinggal Gerindra beserta jamaah Ijtima Ulama," ungkap Dosen Sosiologi Universitas Lampung.
Menurutnya wacana people power juga tak perlu diambil pusing. Bagi dia, itu adalah reaksi biasa yang seharusnya sudah sering dihadapi pada tahun politik.
"Dari segi keamanan wacana people power nanti enggak terlalu merepotkan, ini hanya reaksi biasa yang kita semestinya sudah berulang kali terjadi harusnya punya pengalaman soal ini," ucapnya. (khf/ful/fin)
JK lantas mencontohkan Pemilu 2014. Saat itu setelah selesainya coblosan, Partai Golkar dan PAN yang sebelumnya mendukung Prabowo-Hatta Radjasa merapat ke Jokowi. "Yang lima tahun lalu mendukung Prabowo kemudian mendukung Pak Jokowi," kata JK saat ditemui di kantor wakil presiden kemarin (14/5/2019).
Dengan bergabungnya kader dua partai masuk kabinet, menurut dia, kondisi tersebut sudah biasa dalam perpolitikan. JK menyatakan, PAN tentu sudah memiliki pandangan politik setelah pelaksanaan pemilu. "Yang jelas, seperti PAN akan menerima siapa saja yang menang," tuturnya.
Meski demikian, JK mengungkapkan bahwa dirinya tidak terlibat lagi untuk pembahasan pemerintahan yang akan datang. Termasuk soal masuknya penumpang baru dalam koalisi Jokowi-Maruf Amin.
JK juga berkomentar soal sejumlah menteri yang tersangkut perkara korupsi di KPK. Saat ini setidaknya ada dua menteri yang tersangkut kasus korupsi. Mereka adalah Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin yang pernah diperiksa sebagai saksi atas kasus yang menimpa mantan Ketua Umum PPP Romahurmuziy.
Kemudian, ada Menpora Imam Nahrawi yang juga pernah menjadi saksi dalam persidangan kasus korupsi anak buahnya. "Mereka itu kan baru dalam status saksi. Belum ada menteri yang TSK (tersangka, red)," katanya.
Jika ada menteri yang berstatus tersangka, menurut JK, otomatis mereka mendapat perhatian dan memungkinkan ada reshuffle. Namun, kalau sebatas dikatakan menerima gratifikasi tetapi tidak ada bukti, tidak bisa serta-merta mereka dipecat sebagai menteri.
Terpisah Pengamat Politik Maruli Hendra Utama berpendapat jelang pengumuman pemenang Pilpres 2019 oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), koalisi pasangan capres-cawapres Prabowo Subianto-Sandiaga Uno semakin tidak solid. Dia pun memprediksi Partai Demokrat dan PAN akan hengkang dari Koalisi Adil dan Makmur itu.
"Jelang 22 Mei trennya eskalasi makin turun, di lingkungan koalisi sudah enggak solid. Demokrat yang sudah agak jelas keluar, PAN yang enggak mau ikut-ikutan dengan model-model seperti sekarang. Artinya yang turun ke jalan ini Gerindra plus jamaah Ijtima Ulama," terangnya.
Terkait dengan hasil Pemilu 2019, Maruli memprediksi tidak akan ada pengerahan people power. Sebab, kata dia, yang tersisa dari koalisi nantinya hanya Partai Gerindra dan peserta Ijtima Ulama saja.
"PAN tidak mau cara-cara begitu. PKS mana ada yang mengatakan kecurangan, coba cek lagi deh. Tinggal Gerindra beserta jamaah Ijtima Ulama," ungkap Dosen Sosiologi Universitas Lampung.
Menurutnya wacana people power juga tak perlu diambil pusing. Bagi dia, itu adalah reaksi biasa yang seharusnya sudah sering dihadapi pada tahun politik.
"Dari segi keamanan wacana people power nanti enggak terlalu merepotkan, ini hanya reaksi biasa yang kita semestinya sudah berulang kali terjadi harusnya punya pengalaman soal ini," ucapnya. (khf/ful/fin)