Wakil Ketua BPN Priyo Budi Santoso menegaskan, pihaknya telah menyampaikan semua argumen dan bentuk kecurangan. Selanjutnya, BPN akan menyerahkan kepada KPU sebagai penyelenggara pemilu.
Saat ditanya apakah persoalan kecurangan akan dibawa ke Mahkamah Konstitusi lantaran BPN menarik semua saksinya, Priyo mengatakan belum tahu dan belum memutuskannya. Tapi dia memastikan jalur konstitusi akan tetap dilalui. Termasuk ke Bawaslu.
"Datanya masif, ada satu brek, kita punya data lengkap. Tapi nggak mungkin dalam waktu singkat tadi bicara di depan pers. Kita siap adu data dengan pihak manapun juga. Dengan demikian seluruh saksi-saksi yang sekarang berada baik di KPU pusat, di provinsi, dan kabupaten/kota yang sekarang masih berproses kami perintahkan untuk ditarik," kata Priyo, dalam acara "Mengungkap Fakta-Fakta Kecurangan Pilpres 2019", di Hotel Sahid, Jakarta, Selasa (14/5) kemarin.
Sementara itu, Ketua BPN Djoko Santoso dengan tegas menolak hasil rekapitulasi suara yang sedang dilakukan KPU. Ia menduga banyak kecurangan yang terjadi dalam proses pelaksanaan Pemilu 2019. "Kami BPN Prabowo-Sandi bersama rakyat Indonesia yang sadar demokrasi, menolak hasil perhitungan suara dari KPU RI yang sedang berjalan," kata Djoko.
Dia mengatakan, Pilpres 2019 harus dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, dan rahasia (luber) yang harus dilaksanakan dengan memegang teguh prinsip jujur dan adil. Selain itu, Djoko mengatakan BPN Prabowo-Sandi telah mengirim surat kepada KPU dengan nomor 087/BPN/PS/V/2019 tanggal 1 Mei 2019 tentang audit terhadap IT KPU.
Dalam surat itu, BPN Prabowo-Sandi meminta dan mendesak KPU menghentikan sistem perhitungan suara. "Yang substansinya agar KPU menghentikan perhitungan suara pemilu yang curang, terstruktur, sistematis, dan masif," papar mantan Panglima TNI itu.
Terpisah, hasil atau kemenangan secara telak yang diperoleh Jokowi-Amin di Jawa Tengah juga telah ditolak oleh Direktur Relawan BPN Ferry Mursyidan Baldan. Ia menganggap adanya dugaan kecurangan di Provinsi Jawa Tengah.
Berdasarkan rekapitulasi nasional KPU pada Provinsi Jawa Tengah Capres-Cawapres nomor urut 01 unggul sebesar 16.825.511. Sedangkan Capres-Cawapres nomor urut 02 meraih perolehan suara 4.944.447. "Banyak masalah dan itu tidak terjawab (dugaan kecurangan di Jawa Tengah, Red)," kata Ferry yang pernah menjabat Menteri BPN Agraria dan Tata Ruang ini.
Menurutnya, adanya dugaan kecurangan itu seperti soal beberapa saksi dari BPN yang dihalang-halangi saat rekapitulasi di tingkat kecamatan. Kemudian, penukaran hasil rekap C1 yang tak sebagaimana mestinya.
"Jadi banyak kejadian seperti itu. Untuk adilnya, BPN meminta di Jawa Tengah dilakukan PSU (Pemungutan Suara Ulang)," imbuhnya.
Ferry mengungkapkan, penolakan tandatangan hasil rekapitulasi bukan hanya dilakukan di Jawa Tengah saja. Melainkan juga di Banten dan DKI Jakarta.
Hal itu dilakukan bukan tanpa alasan atau bukan karena menang atau kalah. Melainkan untuk persoalan atau masalah keadilan dalam sebuah kompetisi yakni Pemilu 2019. "Ini bukan soal sesuatu angka menang dan kalah. Kita juga nggak ada pikiran ke MK. Bagi kita ini bentuk keberatan yang mendasar dari MK," ungkapnya.
Sementara itu, Komisioner KPU Ilham Saputra mengatakan, pihaknya tak mempermasalahkan soal BPN yang menolak tandatangan hasil rekapitulasi nasional di Jawa Tengah. Meskipun tidak ada tandatangan, proses rekapitulasi tetap akan berjalan. "Nggak ada masalah. Siapapun boleh kalau memang tidak ingin tandatangan. Tidak menghambat proses rekapitulasi di setiap level," ujar Ilham.
Senada dengan Ilham, Komisioner KPU lainnya, Hasyim Ashari menjelaskan, jika saat ini sedang dilakukan proses rekapitulasi. Dia menyarankan jika BPN buka-bukaan data di KPU. "Karena di sini kan forum rekapitulasi, semua saksi hadir. Jadi tidak hanya di-crosscheck dengan datanya KPU, tapi juga di-crosscheck dengan data yang dipegang masing-masing partai pemilu. Baik dari parpol maupun pasangan capres-cawapres," ucapnya.
Hasyim mencontohkan buka-bukaan data dilakukan di Kalimantan Barat, dan Maluku Utara. Data yang dimiliki tiap saksi dan KPU akan dicocokkan. "Datanya saja kita cocokkan. Kemarin seperti di Kalbar, Malut, kita juga cocok-cocokkan. Artinya begini ya, kalau secara hukum, cara berpikirnya begini. Barang siapa mendalilkan, dia harus membuktikan," tandasnya.
Calon presiden nomor urut 02, Prabowo Subianto menyebut demokrasi saat ini telah terjadi pemerkosaan. "Kita melihat, merasakan, mengalami rekan-rekan kita, pejuang-pejuang kita mengalami pemerkosaan demokrasi di Indonesia," tegas Prabowo dalam orasinya pada acara "Mengungkap Fakta-Fakta Kecurangan Pemilu 2019", di Hotel Grand Sahid Jaya, Jakarta, Selasa (14/5).
Prabowo masih yakin dirinya memenangkan mandat dari rakyat. "Kita telah memenangkan mandat dari rakyat. Kalau kita menyerah berarti menyerah pada ketidakadilan. Itu artinya kita berkhianat kepada negara, bangsa, rakyat. Artinya kita berkhianat pada pendiri bangsa yang telah gugur untuk mendirikan negara," paparnya.
Prabowo menyatakan tidak bisa menerima menerima ketidakadilan, ketidakbenaran dan ketidakjujuran dalam penyelenggaraan pemilu 2019. "Ini bukan atas ambisi pribadi. Demi Allah tidak ada niat. Kau tanya hati saya, saya inginnya istirahat. Tapi setelah saya keliling melihat mata dari rakyat Indonesia, tidak mungkin saya meninggalkan rakyat Indonesia," papar Prabowo yang di hadapan ribuan relawan.
Dikatakan, jika proses perampasan dan pemerkosaan demokrasi ini terus berjalan, maka rakyatlah yang akan menentukan. "Selama rakyat percaya dengan saya, bersama saya, bersama rakyat. Jangan khawatir, saya bersama rakyat sampai titik darah yang terakhir. Kita akan membela keadilan dan kejujuran sampai kemenangan rakyat diakui," terang Prabowo.
Sementara, calon wakil presiden nomor urut 02, Sandiaga Uno, menilai pelaksanaan Pemilu 2019, menorehkan sejumlah catatan memprihatinkan. "Kami mencium politik uang yang sangat tajam. Salah satu orang penting tim kampanye nasional pasangan calon 01 tertangkap KPK dengan barang bukti ratusan ribu amplop berisi uang. Kemudian, amplop-amplop itu diduga akan digunakan untuk kepentingan berlatar politik," kata Sandi.
Menurutnya, , ini adalah puncak gunung es politik uang yang kelak mencederai demokrasi. "Dari berbagai penjuru Tanah Air, terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur masyarakat disuguhi banyak cerita. Bagaimana gelombang tsunami amplop politik uang yang dikawal oleh aparat pemerintah bahkan aparat keamanan," ucap mantan Wakil Gubernur DKI Jakarta ini. (khf/fin/rh)