JAKARTA - Sejumlah saksi dan ahli yang dihadirkan tim kuasa hukum pasangan Jokowi - Ma'ruf Amin jelas untuk membantah keterangan ahli yang dihadirkan tim kuasa hukum pasangan Prabowo Subianto - Sandiaga Uno.
Dalam persidangan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) di Mahkamah Konstitusi (MK) pada Jumat (21/6/2019) kemarin, saksi menyangkal semua tuduhan yang dilontarkan saksi pasangan nomor urut 02.
Saksi Anas Nashikin, menjelaskan maksud ucapan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo mengenai aparat. Sebelumnya, pernyataan Ganjar sempat disinggung oleh saksi dari pemohon capres-cawapres nomor urut 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Uno yakni Hairul Anas Suaidi alias Anas.
Dalam sidang, Anas menyebut Ganjar pernah mengatakan aparat tak perlu netral. Nashikin mengaku dalam forum pelatihan saksi TKN pada Februari lalu, Ganjar sempat melontarkan kalimat aparat dikerahkan.
Namun, aparat menurut pemahamannya adalah aparat saksi pemilu dari kubu Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma'ruf. "Kalau saksi 01 itu bagian dari aparat. Jadi saksi bukan berarti tidak melakukan apa-apa. Tapi justru bekerja baik sebelum atau sesudah hari H pemungutan suara," ujar Nashikin dalam persidangan.
Nashikin menegaskan kehadiran Ganjar dalam forum tersebut bukan sebagai Gubernur Jawa Tengah. Ganjar menjadi pembicara dengan menampilkan materi lembaga survei elektabilitas Jokowi.
Dalam kegiatan itu, Ganjar juga menceritakan pengalamannya saat ikut kontestasi Pilkada Jawa Tengah. Ganjar meminta kepada peserta agar tidak lengah menghadapi pemilu. "Jadi kita harus percaya diri," imbuh Nashikin.
Di tempat sama, Komisi Pemilihan Umum (KPU) tidak terima dengan pernyataan kuasa hukum Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, Teuku Nasrullah, yang seakan penyelenggara pemilu berpihak. Hal itu sempat membuat Komisioner KPU Wahyu Setiawan bersitegang dengan Nasrullah.
Peristiwa itu bermula saat Nasrullah mendalami kehadiran KPU dalam acara Training of Trainer (ToT) yang di selenggarakan Tim Kampanye Nasional (TKN) Joko Widodo-Ma'ruf Amin. Nasrullah meminta Nashikin selaku saksi Jokowi-Ma'ruf menjelaskan kehadiran KPU dalam acara ToT yang diselenggarakan TKN. "KPU hadir di situ sebagai peserta, pendengar, atau pemberi materi? " tanya Nasrullah. "Pemberi materi," jawab Nashikin.
Nasrullah kemudian menanyakan materi yang dibawakan KPU. Anas menyampaikan materinya yang diberikan terkait kepemiluan. "Membawakan materi yang berkaitan dengan tata kerja dan tata kelola pemilu," jelas Nashikin.
Namun, Nasrullah tak puas dengan jawaban Nashikin. Dia kembali melontarkan pertanyaan kepada Nashikin dengan menyinggung keterlibatan KPU dalam TKN. "Kenapa menghadirkan KPU dan Bawaslu? Apakah KPU sebagai bagian dari saksi 01?" tanya Nasrullah lagi.
Spontan, Wahyu menyela pertanyaan Nasrullah. Dia keberatan KPU dituduh terlibat politik praktis. Nasrullah diminta menarik pertanyaan yang dinilainya tendensius itu. "Izin yang mulia, kami keberatan dengan pertanyaan dan pernyataan Pak Nasrullah yang menyatakan seolah-olah KPU bagian dari TKN 01. Maaf ini ditonton seluruh rakyat Indonesia. Saya mohon dicabut," tegas Wahyu.
Namun, Nasrullah enggan mencabut pertanyaan tersebut. Wahyu kembali menyampaikan keberatannya. Wahyu menegaskan tidak pernah membeda-bedakan paslon 01 maupun paslon 02. "Yang mulia kami selalu hadir apabila diundang oleh peserta pemilu. Kami hadir kalau diundang oleh BPN 02," paparnya.
Majelis Hakim MK, Manahan Sitompul kemudian menengahi percekcokan Wahyu dan Nasrullah. Hakim Manahan meminta Nasrullah melanjutkan pertanyaannya kepada Anas.
Sementara, saksi ahli dari pihak terkait Profesor Edward Omar Sharif Hiariej mengatakan, tim hukum pemohon mencampuradukkan sengketa pemilu dengan perselisihan hasil pemilu. Edward yang akrab dipanggil Eddy mengatakan gugatan yang diajukan tim 02 itu bukanlah kewenangan MK.
Ia menerangkan, Pasal 24 C UUD 1945 juncto Pasal 74 dan Pasal 75 UU MK sebagai derivat kewenangan MK yang terdapat dalam konstitusi secara jelas dan terang menyatakan bahwa kewenangan MK terhadap kesalahan hasil penghitungan suara yang diumumkan oleh KPU dan hasil penghitungan yang benar menurut pemohon. "Dengan demikian secara mutatis mutandis, fundamentum petendi yang dikonstruksikan kuasa hukum pemohon seharusnya hanya berkaitan dengan hasil penghitungan suara," kata Eddy.
Dalam keterangannya, Eddy menyinggung soal isi gugatan yang disusun tim hukum pasangan nomor urut 02 Prabowo Subianto - Sandiaga Uno. Menurutnya, isi gugatan tersebut seharusnya disampaikan ke Bawaslu, bukan MK.
"Kuasa hukum pemohon dalam fundamentum petendi lebih banyak menunjukkan pelanggaran-pelanggaran pemilu. Seperti penyalahgunaan APBN atau program kerja pemerintah, ketidaknetralan aparatur, seperti polisi dan intelijen. Juga penyalahgunaan birokrasi dan BUMN, pembatasan kebebasan media dan pers, serta diskriminasi pada penegakan hukum. Pada hakikatnya adalah pelanggaran pemilu yang berdasarkan pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 seharusnya dilaporkan pada Bawaslu," paparnya.
Kemudian, setelah itu Bawaslu akan menentukan apakah dugaan pelanggaran pemilu itu pelanggaran administrasi, sengketa administrasi, atau pidana pemilu. Selanjutnya, Bawaslu akan meneruskannya ke DKPP, KPU, peradilan umum, atau Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Selain itu, Eddy juga menerangkan soal penggunaan putusan MK terhadap hasil Pilkada dalam mengajukan gugatan di MK saat ini. Menurutnya, hal itu tidak sejalan dengan asas nit agit exemplum litem quo lite resolvit.
"Kuasa hukum pemohon secara kasatmata mencampuradukkan antara sengketa pemilu dengan perselisihan hasil pemilu. Dengan catatan, itu pun kalau sengketa pemilu dapat didalilkan dan dapat dibuktikan secara sah dan meyakinkan," ucapnya.
Menurut dia, fundamentum petendi yang digunakan kuasa hukum pemohon berasal dari putusan MK perselisihan pilkada MK tentang perselisihan pilkada dan bukan hasil pemilu. Sehingga rendah tingkat komparasinya.
"Dalam konteks ini, kiranya kuasa hukum pemohon perlu memahami suatu asas yang cukup mendasar yang berbunyi nit agit exemplum litem quo lite resolvit. Artinya menyelesaikan perkara dengan mengambil contoh perkara lain sama halnya dengan tidak menyelesaikan perkara tersebut," tukasnya.
Sementara ahli lainnya, doktor Heru Widodo mengatakan tidak ada putusan MK tentang diskualifikasi pasangan capres-cawapres. Ahli yang dihadirkan tim hukum Jokowi - Ma'ruf Amin itu menyebut diskualifikasi diputus MK di tingkat pemilihan kepala daerah.
"Diskualifikasi ini memang sudah ditegaskan. Namun, apabila terjadi terhadap Pasal 286 dan 460, peserta pemilihan dapat didiskualifikasi dan ditegaskan kewenangan untuk menerima laporan dan menjatuhkan putusan atas pelanggaran-pelanggaran tersebut ada di Bawaslu," jelas Heru.
Dia menyebutkan pasangan calon yang didiskualifikasi oleh KPU atas putusan Bawaslu itu dapat mengajukan keberatan ke Mahkamah Agung (MA). Namun bila putusan diskualifikasi itu baru dijatuhkan di MK, maka pasangan calon itu tidak bisa mengajukan keberatan.
"Tentunya manakala diskualifikasi ini kemudian baru dijatuhkan ketika pemilu sudah selesai, ada diskualifikasi dalam sengketa hasil, hak untuk mengajukan keberatan dari pasangan calon yang didiskualifikasi sebagaimana diatur dalam hukum positif tidak ada. Karena putusan mahkamah adalah bersifat final dan mengikat," beber Heru.
Sementara itu, ketua tim hukum pasangan Prabowo - Sandiaga, Bambang Widjojanto (BW) mempertanyakan keahlian Profesor Edward Omar Sharif Hiariej alias Eddy. Mantan komisioner KPK itu tidak terima karena ahli yang dihadirkan dalam persidangan sebelumnya, seolah-olah "ditelanjangi" oleh Eddy.
BW heran mengapa ahli yang mereka hadirkan dipertanyakan kepantasannya. Ahli yang dimaksud BW adalah Jaswar Koto.
Dia tidak terima Jaswar mendapat perlakuan seperti itu, BW turut mempertanyakan kepantasan Eddy sebagai ahli di sidang MK. "Prof Eddy, apakah Anda pantas untuk jadi ahli?'" tanya BW.
Padahal, lanjut BW, ahli yang dihadirkan punya buku-buku hingga ratusan jurnal. Selain itu, punya kompetensi di bidang fingerprint dan iris.
"Sekarang saya ingin tanya, saya kagum kepada sobat ahli, tapi pertanyaannya sekarang saya balik. Anda sudah tulis berapa buku yang berkaitan dengan pemilu yang berkaitan dengan TSM? Tunjukkan kepada kami bahwa Anda benar-benar ahli, bukan ahli pembuktian tapi khusus pembuktian dalam kaitannya pemilu. Berikan kepada kami buku-buku itu, mungkin kami bisa belajar. Berikan kepada kami jurnal internasional yang pernah Anda tulis, sehingga pantas disebut sebagai ahli," tantang BW.(khf/fin/rh)
Dalam persidangan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) di Mahkamah Konstitusi (MK) pada Jumat (21/6/2019) kemarin, saksi menyangkal semua tuduhan yang dilontarkan saksi pasangan nomor urut 02.
Saksi Anas Nashikin, menjelaskan maksud ucapan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo mengenai aparat. Sebelumnya, pernyataan Ganjar sempat disinggung oleh saksi dari pemohon capres-cawapres nomor urut 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Uno yakni Hairul Anas Suaidi alias Anas.
Dalam sidang, Anas menyebut Ganjar pernah mengatakan aparat tak perlu netral. Nashikin mengaku dalam forum pelatihan saksi TKN pada Februari lalu, Ganjar sempat melontarkan kalimat aparat dikerahkan.
Namun, aparat menurut pemahamannya adalah aparat saksi pemilu dari kubu Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma'ruf. "Kalau saksi 01 itu bagian dari aparat. Jadi saksi bukan berarti tidak melakukan apa-apa. Tapi justru bekerja baik sebelum atau sesudah hari H pemungutan suara," ujar Nashikin dalam persidangan.
Nashikin menegaskan kehadiran Ganjar dalam forum tersebut bukan sebagai Gubernur Jawa Tengah. Ganjar menjadi pembicara dengan menampilkan materi lembaga survei elektabilitas Jokowi.
Dalam kegiatan itu, Ganjar juga menceritakan pengalamannya saat ikut kontestasi Pilkada Jawa Tengah. Ganjar meminta kepada peserta agar tidak lengah menghadapi pemilu. "Jadi kita harus percaya diri," imbuh Nashikin.
Di tempat sama, Komisi Pemilihan Umum (KPU) tidak terima dengan pernyataan kuasa hukum Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, Teuku Nasrullah, yang seakan penyelenggara pemilu berpihak. Hal itu sempat membuat Komisioner KPU Wahyu Setiawan bersitegang dengan Nasrullah.
Peristiwa itu bermula saat Nasrullah mendalami kehadiran KPU dalam acara Training of Trainer (ToT) yang di selenggarakan Tim Kampanye Nasional (TKN) Joko Widodo-Ma'ruf Amin. Nasrullah meminta Nashikin selaku saksi Jokowi-Ma'ruf menjelaskan kehadiran KPU dalam acara ToT yang diselenggarakan TKN. "KPU hadir di situ sebagai peserta, pendengar, atau pemberi materi? " tanya Nasrullah. "Pemberi materi," jawab Nashikin.
Nasrullah kemudian menanyakan materi yang dibawakan KPU. Anas menyampaikan materinya yang diberikan terkait kepemiluan. "Membawakan materi yang berkaitan dengan tata kerja dan tata kelola pemilu," jelas Nashikin.
Namun, Nasrullah tak puas dengan jawaban Nashikin. Dia kembali melontarkan pertanyaan kepada Nashikin dengan menyinggung keterlibatan KPU dalam TKN. "Kenapa menghadirkan KPU dan Bawaslu? Apakah KPU sebagai bagian dari saksi 01?" tanya Nasrullah lagi.
Spontan, Wahyu menyela pertanyaan Nasrullah. Dia keberatan KPU dituduh terlibat politik praktis. Nasrullah diminta menarik pertanyaan yang dinilainya tendensius itu. "Izin yang mulia, kami keberatan dengan pertanyaan dan pernyataan Pak Nasrullah yang menyatakan seolah-olah KPU bagian dari TKN 01. Maaf ini ditonton seluruh rakyat Indonesia. Saya mohon dicabut," tegas Wahyu.
Namun, Nasrullah enggan mencabut pertanyaan tersebut. Wahyu kembali menyampaikan keberatannya. Wahyu menegaskan tidak pernah membeda-bedakan paslon 01 maupun paslon 02. "Yang mulia kami selalu hadir apabila diundang oleh peserta pemilu. Kami hadir kalau diundang oleh BPN 02," paparnya.
Majelis Hakim MK, Manahan Sitompul kemudian menengahi percekcokan Wahyu dan Nasrullah. Hakim Manahan meminta Nasrullah melanjutkan pertanyaannya kepada Anas.
Sementara, saksi ahli dari pihak terkait Profesor Edward Omar Sharif Hiariej mengatakan, tim hukum pemohon mencampuradukkan sengketa pemilu dengan perselisihan hasil pemilu. Edward yang akrab dipanggil Eddy mengatakan gugatan yang diajukan tim 02 itu bukanlah kewenangan MK.
Ia menerangkan, Pasal 24 C UUD 1945 juncto Pasal 74 dan Pasal 75 UU MK sebagai derivat kewenangan MK yang terdapat dalam konstitusi secara jelas dan terang menyatakan bahwa kewenangan MK terhadap kesalahan hasil penghitungan suara yang diumumkan oleh KPU dan hasil penghitungan yang benar menurut pemohon. "Dengan demikian secara mutatis mutandis, fundamentum petendi yang dikonstruksikan kuasa hukum pemohon seharusnya hanya berkaitan dengan hasil penghitungan suara," kata Eddy.
Dalam keterangannya, Eddy menyinggung soal isi gugatan yang disusun tim hukum pasangan nomor urut 02 Prabowo Subianto - Sandiaga Uno. Menurutnya, isi gugatan tersebut seharusnya disampaikan ke Bawaslu, bukan MK.
"Kuasa hukum pemohon dalam fundamentum petendi lebih banyak menunjukkan pelanggaran-pelanggaran pemilu. Seperti penyalahgunaan APBN atau program kerja pemerintah, ketidaknetralan aparatur, seperti polisi dan intelijen. Juga penyalahgunaan birokrasi dan BUMN, pembatasan kebebasan media dan pers, serta diskriminasi pada penegakan hukum. Pada hakikatnya adalah pelanggaran pemilu yang berdasarkan pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 seharusnya dilaporkan pada Bawaslu," paparnya.
Kemudian, setelah itu Bawaslu akan menentukan apakah dugaan pelanggaran pemilu itu pelanggaran administrasi, sengketa administrasi, atau pidana pemilu. Selanjutnya, Bawaslu akan meneruskannya ke DKPP, KPU, peradilan umum, atau Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Selain itu, Eddy juga menerangkan soal penggunaan putusan MK terhadap hasil Pilkada dalam mengajukan gugatan di MK saat ini. Menurutnya, hal itu tidak sejalan dengan asas nit agit exemplum litem quo lite resolvit.
"Kuasa hukum pemohon secara kasatmata mencampuradukkan antara sengketa pemilu dengan perselisihan hasil pemilu. Dengan catatan, itu pun kalau sengketa pemilu dapat didalilkan dan dapat dibuktikan secara sah dan meyakinkan," ucapnya.
Menurut dia, fundamentum petendi yang digunakan kuasa hukum pemohon berasal dari putusan MK perselisihan pilkada MK tentang perselisihan pilkada dan bukan hasil pemilu. Sehingga rendah tingkat komparasinya.
"Dalam konteks ini, kiranya kuasa hukum pemohon perlu memahami suatu asas yang cukup mendasar yang berbunyi nit agit exemplum litem quo lite resolvit. Artinya menyelesaikan perkara dengan mengambil contoh perkara lain sama halnya dengan tidak menyelesaikan perkara tersebut," tukasnya.
Sementara ahli lainnya, doktor Heru Widodo mengatakan tidak ada putusan MK tentang diskualifikasi pasangan capres-cawapres. Ahli yang dihadirkan tim hukum Jokowi - Ma'ruf Amin itu menyebut diskualifikasi diputus MK di tingkat pemilihan kepala daerah.
"Diskualifikasi ini memang sudah ditegaskan. Namun, apabila terjadi terhadap Pasal 286 dan 460, peserta pemilihan dapat didiskualifikasi dan ditegaskan kewenangan untuk menerima laporan dan menjatuhkan putusan atas pelanggaran-pelanggaran tersebut ada di Bawaslu," jelas Heru.
Dia menyebutkan pasangan calon yang didiskualifikasi oleh KPU atas putusan Bawaslu itu dapat mengajukan keberatan ke Mahkamah Agung (MA). Namun bila putusan diskualifikasi itu baru dijatuhkan di MK, maka pasangan calon itu tidak bisa mengajukan keberatan.
"Tentunya manakala diskualifikasi ini kemudian baru dijatuhkan ketika pemilu sudah selesai, ada diskualifikasi dalam sengketa hasil, hak untuk mengajukan keberatan dari pasangan calon yang didiskualifikasi sebagaimana diatur dalam hukum positif tidak ada. Karena putusan mahkamah adalah bersifat final dan mengikat," beber Heru.
Sementara itu, ketua tim hukum pasangan Prabowo - Sandiaga, Bambang Widjojanto (BW) mempertanyakan keahlian Profesor Edward Omar Sharif Hiariej alias Eddy. Mantan komisioner KPK itu tidak terima karena ahli yang dihadirkan dalam persidangan sebelumnya, seolah-olah "ditelanjangi" oleh Eddy.
BW heran mengapa ahli yang mereka hadirkan dipertanyakan kepantasannya. Ahli yang dimaksud BW adalah Jaswar Koto.
Dia tidak terima Jaswar mendapat perlakuan seperti itu, BW turut mempertanyakan kepantasan Eddy sebagai ahli di sidang MK. "Prof Eddy, apakah Anda pantas untuk jadi ahli?'" tanya BW.
Padahal, lanjut BW, ahli yang dihadirkan punya buku-buku hingga ratusan jurnal. Selain itu, punya kompetensi di bidang fingerprint dan iris.
"Sekarang saya ingin tanya, saya kagum kepada sobat ahli, tapi pertanyaannya sekarang saya balik. Anda sudah tulis berapa buku yang berkaitan dengan pemilu yang berkaitan dengan TSM? Tunjukkan kepada kami bahwa Anda benar-benar ahli, bukan ahli pembuktian tapi khusus pembuktian dalam kaitannya pemilu. Berikan kepada kami buku-buku itu, mungkin kami bisa belajar. Berikan kepada kami jurnal internasional yang pernah Anda tulis, sehingga pantas disebut sebagai ahli," tantang BW.(khf/fin/rh)