Arif Yuswandono |
"Aku wis ulih 600-an ewu kas calon lurah, lumayan kena nggo dandan mesin diesel, "Kang Narto membuka pembicaraan.
"Akeh temen, ora cok wonge ulih semono, "timpal Kang Tumijan keheranan.
"Kas calon A diwei 150 ewu tesih ditambah nang botohe 100 ewu, calon B menehi rong amplop 40-an ewu. Kas calon C wingi disangoni 50 ewu, ditambah 200 ewu, "terang Kang Narto.
"Lha jare wis ana deklarasi Pilkades Tanpa Wuwuran? "celetuk saya.
"Ujare, siki malah banter, jor-joran ulih muwur. Jenenge sangu mbok, "tukas Kang Pariman.
Desa lain mungkin tak jauh berbeda. Deklarasi Pilkades Tanpa Wuwuran terkesan hanya gerakan di awang-awang tanpa juklak dan realisasi pasti. Pilkades dimana-mana memang identik dengan wuwuran alias bagi-bagi duit.
Saya sendiri secara pribadi juga pesimis dengan adanya gerakan ini, meski disatu sisi mengapresiasi beberapa rekan yang menginisiasi deklarasi kemarin. Tapi mendengar obrolan di pos ronda saya berpikir, Gerakan Pilkades Tanpa Wuwuran hanya sekedae halusinasi calon yang tak punya uang.
Alasan pertama, gelaran pilkades adalah potret demokrasi ala Nusantara khususnya Jawa, yang umurnya lebuh tua dari republik ini.
Sebelum model coblosan, dulunya dengan menggunakan lidi, jauh dulu kala hanya model jongkok di belakang calon lurah.
Menghilangkan budaya wuwuran yang sudah mengakar bukan perkara mudah.
Alasan kedua adalah tempat deklarasi.
Gerakan Pilkades Tanpa Wuwuran mestinya adalah gerakan moral, bukan gerakan struktural. Pemilihan tempat deklarasi di pendopo rumah dinas bupati jelas bertentangan dengan semangat gerakan moral kultural.
Karena pejabat bupati ke atas, maupun legislatif bukan contoh yang baik untuk gerakan Anti Money Politik. Penyelenggara Pemilu 2019 kemarin masih menampilkan bahwa uang dan kekuasaan yang berbicara.
Alasan ketiga adalah peserta deklarasi. Saya justru berharap peserta deklarasi adalah perwakilan pemilih cerdas yang tercerahkan, sehingga lebih rasional dalam menentukan calon pemimpinnya.
Dimana-mana deklarasi anti money politik, pakta integritas, siap menang siap kalah dari kandidat calon pejabat hanya omong kosong dan bualan saja.
Karena nyatanya merekalah yang memulai bagi-bagi duit, bagi-bagi hadiah, tebar janji dan setelah menjabat kemudian korupsi. Ketika pejabat berubah wujud menjadi penjahat, kata seorang mantan Ketua Umum Partai.
Lantas bagaimana solusinya?
Saya cenderung membangun kesadaran masyarakat pemilih untuk menentukan pilihan bukan karena uang, tapi dari visi misi, gagasan dan rekam jejak. Jadi, kesadaran masyarakat nya yang dibangun, bukan calon kadesnya yang dipaksa deklarasi.
Hukum asal calon pejabat adalah pembohong.
Yang kedua, saya cenderung tradisi wuwuran diatur bukan dilarang sama sekali. Dilegalkan dan dibuatkan mekanisme agar masyarakat desa sedikit merasakan kebahagiaan dari pesta demokrasi ala desa.
Yang ketiga, perlu dibuat mekanisme sosialisasi visi misi dan adu gagasan dari para Cakades, semacam kampanye atau debat cakades. Dari situ akan terlihat kapasitas dan kapabilitas calon yang bertarung.
Kita tentu tidak mungkin mengubah tradisi turun temurun secara forntal, namun pelan-pelan perubahan pasti akan terjadi seiring perubahan jaman dan perkembangan teknologi.
Salam GBK - Gerakan Bangkit Kebumen
Penulis: Arif Yuswandono
Pegiat Media dan Pemerhati Kebijakan Publik