SEMARANG-Mantan Bupati Klaten Sri Hartini dan mantan ajudannya Nina Puspitasari diperiksa sebagai saksi atas perkara yang menjerat mantan Kepala Bidang Dinas Pendidikan Kabupaten Klaten, Bambang Teguh Setyo.
Pemeriksaan itu terkait perkara dugaan korupsi pengelolaan uang suap dari para pihak mencapai Rp 1,67 miliar dalam kasus jual beli jabatan di Kabupaten Klaten, dalam sidang di Pengadilan Tipikor Semarang, Senin (24/6/2019).
Dalam sidang tersebut terungkap besaran uang suap yang harus disetorkan oleh para pihak, yang disampaikan oleh saksi Nina Puspitasari. Dihadapan majelis hakim yang dipimpin Antonius Widijantono, saksi Nina menyampaikan besaran uang yang harus disetorkan untuk jabatan eselon IV beragam kisaran Rp 10juta hingga Rp 15juta.
Sedangkan paling mahal ada di Dinas PU, sebagaimana berkas Berita Acara Pemeriksaan (BAP) yang disampaikan saksi. Adapun jabatan eselon III rata-rata Rp 30juta sampai Rp 50juta.
"Saya dimintain tolong dari sesorang yang pengen duduki jabatan tertentu, untuk menyampaikan ke bupati. Setahu syaa, bupati, ndak pernah menentukan besarannya. Biasanya yang memberikan besarannya langsung yang meminta tolong,"kata saksi Nina, yang saat ini bertugas sebagai PNS di Kecamatan Klaten Utara.
Saksi mempertegas mendapat nominal besaran demikian dari orang yang minta tolong. Dikatakan saksi informasi besaran dari orang-orang yang ingin duduki jabatan tersebut. Ia juga menyampaikan, biasanya orang-orang yang ingin mendapat jabatan memang harus menggunakan uang syukuran untuk bupati.
"Bupati memang pernah curhat masalah nominal, tapi jarang. Kalau penyerahan uang saya ndak paham, tugas saya waktu itu, diperintah untuk hubungi terdakwa Bambang menemui bupati saja,"ungkapnya.
Sedangkan saksi Sri Hartini, dalam keterangannya mengaku terkait masalah ucapan terimakasih, sebelum saya menjabat tradisinya memang sudah berjalan. Dikatakannya, istilahnya di Klaten adalah uang syukuran.
Namun demikian, diakuinya, biasanya orang yang pesan sudah menduduki jabatan baru memberikan uang syukuran. Terkait nominal uang syukuran diakuinya juga berbeda-beda, sesuai posisi jabatan yang diemban.
"Tapi saya tidak pernha menyebutkan angka, maupun memebrikan ketentuan. Waktu itu pak Bambang saja, yang samapaian si A,B, C kasih sekian. Kemudian Suramlan kasih Rp 200juta untuk duduki kepala bidang,"kata saksi Sri, saat dicecar Penuntut Umum (PU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Saksi juga mengaku memang beberapa kali kordinasi dengan terdakwa. Didalamnya membicarakan terkait penataan SOTK, termasuk uang syukurannya. Saksi juga mengaku, menerima uang itu sejak 2016 dan penyerahan uang syukuran diakuinya juga berlaku di dinas yang lain.
"Terdakwa hanya bagian di Dinas Pendidikan. Saat terdakwa menemui saya, Bambang awalnya menyerahkan uang Rp 100juta, kemudian kedua Rp 170juta,"sebutnya.
Saksi juga menyangkal pernah menerima satu miliar lebih dari Bambang. Ia mengasumsikan saat OTT KPK terjadi, terdakwa yanya membawa satu tas gendong kecil. Sedangkan uang-uang pemberian itu, dikatakannya, di taruh di kamar dimasukkan dalam dus.
Saksi juga membeberkan terkait peran Sahruna. Dikatakannya saat itu memang pernah terjadi jual beli mobil antara dirinya dengan Sahruna, namun hal itu terjadi saat ia masih menjabat Wakil Bupati Klaten.
"Kalau Rp 150 juta dari Sahruna, itu dia berikan untuk syukurna lelang jabatan. Yang bener Rp 150juta bukan Rp 75juta. Kalau uang dari Bambang, seingat saya uang tidak lebih dari Rp 1miliar. Keuantungan yang didapat Bambang jabatannya ndak diganggu, dia (Bambang) memang ndak memberikan uang," bebernya.
Ia juga menjelaskan peran anaknya, yang juga anggota DPRD Klaten, Andi Purnowo. Dikatakannya, kehadiran Andi dalam rapat Baperjakat menyikapi SOTK, adalah adanya titipan orang untuk menduduki jabatan tertentu dari Ketua DPRD Klaten.
"Ada titipan Ketua DPRD Klaten untuk jabatan. Andi ikut rapat disitu, baru setelah menyebutkan namanya yang dititipkan Ketua DPRD, dia langsung pergi ndak ikut rapat. Dia (Andi) ikut sekali, kalau dari dinas pendidikan saya serahkan ke Bambang,"ungkapnya.
Atas keterangan iti, terdakwa Bambang Teguh Setyo, langsung menyatakan keberatan atas keterangan para saksi. Khususnya keberatan terkait penentu besaran nominal. Ia menegaskan, bukan dirinya yang menentukan uang di dinas pendidikan melainkan saksi Sri Hartini. Kedua, ia menyampaikan, keberatan atas nominal yang disampaikan kepada Kepala SMP dan mutasi adalah Sugianto.
"Saya tetap pada keterangan yang Mulia. Pak Bambang yang menyerhakan, memang Sugianto ada dirumah dinas waktu itu, tapi yang menentukan nominal terdakwa,"jawab Sri Hartini. (jks)
Pemeriksaan itu terkait perkara dugaan korupsi pengelolaan uang suap dari para pihak mencapai Rp 1,67 miliar dalam kasus jual beli jabatan di Kabupaten Klaten, dalam sidang di Pengadilan Tipikor Semarang, Senin (24/6/2019).
Dalam sidang tersebut terungkap besaran uang suap yang harus disetorkan oleh para pihak, yang disampaikan oleh saksi Nina Puspitasari. Dihadapan majelis hakim yang dipimpin Antonius Widijantono, saksi Nina menyampaikan besaran uang yang harus disetorkan untuk jabatan eselon IV beragam kisaran Rp 10juta hingga Rp 15juta.
Sedangkan paling mahal ada di Dinas PU, sebagaimana berkas Berita Acara Pemeriksaan (BAP) yang disampaikan saksi. Adapun jabatan eselon III rata-rata Rp 30juta sampai Rp 50juta.
"Saya dimintain tolong dari sesorang yang pengen duduki jabatan tertentu, untuk menyampaikan ke bupati. Setahu syaa, bupati, ndak pernah menentukan besarannya. Biasanya yang memberikan besarannya langsung yang meminta tolong,"kata saksi Nina, yang saat ini bertugas sebagai PNS di Kecamatan Klaten Utara.
Saksi mempertegas mendapat nominal besaran demikian dari orang yang minta tolong. Dikatakan saksi informasi besaran dari orang-orang yang ingin duduki jabatan tersebut. Ia juga menyampaikan, biasanya orang-orang yang ingin mendapat jabatan memang harus menggunakan uang syukuran untuk bupati.
"Bupati memang pernah curhat masalah nominal, tapi jarang. Kalau penyerahan uang saya ndak paham, tugas saya waktu itu, diperintah untuk hubungi terdakwa Bambang menemui bupati saja,"ungkapnya.
Sedangkan saksi Sri Hartini, dalam keterangannya mengaku terkait masalah ucapan terimakasih, sebelum saya menjabat tradisinya memang sudah berjalan. Dikatakannya, istilahnya di Klaten adalah uang syukuran.
Namun demikian, diakuinya, biasanya orang yang pesan sudah menduduki jabatan baru memberikan uang syukuran. Terkait nominal uang syukuran diakuinya juga berbeda-beda, sesuai posisi jabatan yang diemban.
"Tapi saya tidak pernha menyebutkan angka, maupun memebrikan ketentuan. Waktu itu pak Bambang saja, yang samapaian si A,B, C kasih sekian. Kemudian Suramlan kasih Rp 200juta untuk duduki kepala bidang,"kata saksi Sri, saat dicecar Penuntut Umum (PU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Saksi juga mengaku memang beberapa kali kordinasi dengan terdakwa. Didalamnya membicarakan terkait penataan SOTK, termasuk uang syukurannya. Saksi juga mengaku, menerima uang itu sejak 2016 dan penyerahan uang syukuran diakuinya juga berlaku di dinas yang lain.
"Terdakwa hanya bagian di Dinas Pendidikan. Saat terdakwa menemui saya, Bambang awalnya menyerahkan uang Rp 100juta, kemudian kedua Rp 170juta,"sebutnya.
Saksi juga menyangkal pernah menerima satu miliar lebih dari Bambang. Ia mengasumsikan saat OTT KPK terjadi, terdakwa yanya membawa satu tas gendong kecil. Sedangkan uang-uang pemberian itu, dikatakannya, di taruh di kamar dimasukkan dalam dus.
Saksi juga membeberkan terkait peran Sahruna. Dikatakannya saat itu memang pernah terjadi jual beli mobil antara dirinya dengan Sahruna, namun hal itu terjadi saat ia masih menjabat Wakil Bupati Klaten.
"Kalau Rp 150 juta dari Sahruna, itu dia berikan untuk syukurna lelang jabatan. Yang bener Rp 150juta bukan Rp 75juta. Kalau uang dari Bambang, seingat saya uang tidak lebih dari Rp 1miliar. Keuantungan yang didapat Bambang jabatannya ndak diganggu, dia (Bambang) memang ndak memberikan uang," bebernya.
Ia juga menjelaskan peran anaknya, yang juga anggota DPRD Klaten, Andi Purnowo. Dikatakannya, kehadiran Andi dalam rapat Baperjakat menyikapi SOTK, adalah adanya titipan orang untuk menduduki jabatan tertentu dari Ketua DPRD Klaten.
"Ada titipan Ketua DPRD Klaten untuk jabatan. Andi ikut rapat disitu, baru setelah menyebutkan namanya yang dititipkan Ketua DPRD, dia langsung pergi ndak ikut rapat. Dia (Andi) ikut sekali, kalau dari dinas pendidikan saya serahkan ke Bambang,"ungkapnya.
Atas keterangan iti, terdakwa Bambang Teguh Setyo, langsung menyatakan keberatan atas keterangan para saksi. Khususnya keberatan terkait penentu besaran nominal. Ia menegaskan, bukan dirinya yang menentukan uang di dinas pendidikan melainkan saksi Sri Hartini. Kedua, ia menyampaikan, keberatan atas nominal yang disampaikan kepada Kepala SMP dan mutasi adalah Sugianto.
"Saya tetap pada keterangan yang Mulia. Pak Bambang yang menyerhakan, memang Sugianto ada dirumah dinas waktu itu, tapi yang menentukan nominal terdakwa,"jawab Sri Hartini. (jks)