JAKARTA - Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy menyalahkan Pemerintah Daerah (Pemda) yang kurang sosialisasi terkait Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) sistem zonasi. Sistem ini kemudian menjadi pro kontra di sejumlah daerah, padahal masyarakat sistem tersebut telah terbit sejak akhir 2018.
"Tahun lalu, menurut saya jauh lebih parah dari sekarang, yang isunya surat keterangan miskin palsu jumlahnya ribuan. Sekarang hampir tidak ada yang begitu. Yang sekarang muncul protes terhadap kuota yang berprestasi," katanya di sela-sela rapat kerja dengan Komisi X DPR di kompleks parlemen Senayan, Jakarta, Senin (24/6/2019).
Pada rapat yang dipimpin Wakil Ketua Komisi X Reni Marlinawati, Mendikbud menjelaskan persoalan dan masalah PPDB sistem zonasi tidak akan muncul bila daerah memberikan kesempatan yang lebih bijak.
Dikatakannya, aturan sistem zonasi, dikeluarkan berdasarkan Peraturan Menteri Nomor 51 Tahun 2018. Dan untuk PPDB 2019 telah diterbitkan sejak Desember 2018.
Ada waktu enam bulan bagi setiap Pemda untuk menyiapkan dan menyosialisasikan sistem zonasi lewat peraturan turunan. Baik itu peraturan gubernur, atau bupati/wali kota.
"Jadi memang ada beberapa daerah yang menurut saya perlu displin untuk tahun-tahun yang akan datang di dalam memahami PPDB kebijakan zonasi ini dan yang penting jangan main-main dengan nasib peserta didik," katanya.
Selain itu, Muhadjir mensinyalir protes dari masyarakat terkait zonasi lebih banyak berdimensi politik. Hal itu diperoleh setelah tim dari Kemendikbud turun ke lapangan. "Yang peristiwa ribut-ribut itu juga, ada diduga, saya duga ada muatan politik juga," katanya.
Lebih jauh, Mendikbud menjelaskan kuota lima persen untuk siswa luar dari zona dinilai sudah bijak dan baik. Namun, permasalahannya, jumlah siswa yang akan ditampung tidak sebanding dengan kapasitas sekolah negeri yang terbatas.
Seperti contohnya di Jawa Barat yang melakukan perankingan dan memadukan antara jarak dan capaian akademik atau UN. "Sehingga itu sangat memungkinkan. Tidak ada masalah. Kami juga tahu bahwa tidak mungkin 100 persen penempatan zonasi atas dasar radius dari siswa dengan sekolah, kami sangat paham," katanya kepada para wakil rakyat.
Terpisah, Pakar Pendidikan Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta Joko Nurkamto mengatakan, penerapan zonasi sekolah harus diimbangi dengan kualitas. Sehingga masyarakat tidak kecewa dengan sistem tersebut.
"Zonasi tidak masalah kalau delapan standar dipenuhi, standar kompetensi lulusan (SKL), standar isi, proses, penilaian, kualifikasi pendidikan dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar penilaian dan pembiayaan," katanya, Senin (24/6/2019).
Nurkamto mencontohkan dari sisi sarana prasarana, jika memang bagus maka pendidikan yang diberikan kepada siswa juga akan bagus. Selanjutnya untuk sistem laboratorium multimedia tidak seluruh sekolah mutunya bagus.
"Selain itu juga bagaimana kualitas guru dan kepala sekolah. Intinya kalau bisa memenuhi delapan standar tersebut maka tidak masalah. Yang dikomplain orang tua itu kan anak pintar tetapi dapat sekolah yang jelek," katanya.
Nurkamto juga mengatakan jika sistem zonasi dipaksakan maka ada dua kemungkinan yang terjadi, yaitu jika sekolah tidak dibenahi maka yang terjadi mungkin anak akan frustasi. Yang kedua, anak tidak mempermasalahkan hal itu namun orangtua tidak rela anak tidak memperoleh sekolah yang kualitasnya baik.
"Permasalahannya kalau anak frustrasi kan kasihan anaknya. Belajarnya tidak termotivasi lagi karena mereka mendapati sistem, lingkungan, dan teman-teman yang tidak baik," katanya.
Selain itu, kepadatan penduduk setiap daerah juga tidak sama yang berdampak pada jumlah siswa yang diperoleh sekolah. "Ini beberapa kasus yang terjadi, kan ada daerah yang satu sekolah hanya dapat lima orang karena kepadatan penduduk di masing-masing zona beda. Boleh jadi di satu sekolah targetnya tidak terpenuhi," katanya.
Untuk itu, menurutnya, perlu ada evaluasi yang dilakukan pemerintah dengan melibatkan banyak pihak, di antaranya orangtua siswa, siswa, guru, dan tokoh pendidikan.
"Mereka ditanyai bagaimana efektivitas sistem ini. Yang pasti perlu ada kajian yang lebih mendalam terkait zonasi. Mestinya pemerintah perlu mengantisipasi atau merespon, apa yang jadi masalah. Kalau ingin berjalan baik ya sistemnya diperbaiki," katanya.(gw/fin)
"Tahun lalu, menurut saya jauh lebih parah dari sekarang, yang isunya surat keterangan miskin palsu jumlahnya ribuan. Sekarang hampir tidak ada yang begitu. Yang sekarang muncul protes terhadap kuota yang berprestasi," katanya di sela-sela rapat kerja dengan Komisi X DPR di kompleks parlemen Senayan, Jakarta, Senin (24/6/2019).
Pada rapat yang dipimpin Wakil Ketua Komisi X Reni Marlinawati, Mendikbud menjelaskan persoalan dan masalah PPDB sistem zonasi tidak akan muncul bila daerah memberikan kesempatan yang lebih bijak.
Dikatakannya, aturan sistem zonasi, dikeluarkan berdasarkan Peraturan Menteri Nomor 51 Tahun 2018. Dan untuk PPDB 2019 telah diterbitkan sejak Desember 2018.
Ada waktu enam bulan bagi setiap Pemda untuk menyiapkan dan menyosialisasikan sistem zonasi lewat peraturan turunan. Baik itu peraturan gubernur, atau bupati/wali kota.
"Jadi memang ada beberapa daerah yang menurut saya perlu displin untuk tahun-tahun yang akan datang di dalam memahami PPDB kebijakan zonasi ini dan yang penting jangan main-main dengan nasib peserta didik," katanya.
Selain itu, Muhadjir mensinyalir protes dari masyarakat terkait zonasi lebih banyak berdimensi politik. Hal itu diperoleh setelah tim dari Kemendikbud turun ke lapangan. "Yang peristiwa ribut-ribut itu juga, ada diduga, saya duga ada muatan politik juga," katanya.
Lebih jauh, Mendikbud menjelaskan kuota lima persen untuk siswa luar dari zona dinilai sudah bijak dan baik. Namun, permasalahannya, jumlah siswa yang akan ditampung tidak sebanding dengan kapasitas sekolah negeri yang terbatas.
Seperti contohnya di Jawa Barat yang melakukan perankingan dan memadukan antara jarak dan capaian akademik atau UN. "Sehingga itu sangat memungkinkan. Tidak ada masalah. Kami juga tahu bahwa tidak mungkin 100 persen penempatan zonasi atas dasar radius dari siswa dengan sekolah, kami sangat paham," katanya kepada para wakil rakyat.
Terpisah, Pakar Pendidikan Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta Joko Nurkamto mengatakan, penerapan zonasi sekolah harus diimbangi dengan kualitas. Sehingga masyarakat tidak kecewa dengan sistem tersebut.
"Zonasi tidak masalah kalau delapan standar dipenuhi, standar kompetensi lulusan (SKL), standar isi, proses, penilaian, kualifikasi pendidikan dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar penilaian dan pembiayaan," katanya, Senin (24/6/2019).
Nurkamto mencontohkan dari sisi sarana prasarana, jika memang bagus maka pendidikan yang diberikan kepada siswa juga akan bagus. Selanjutnya untuk sistem laboratorium multimedia tidak seluruh sekolah mutunya bagus.
"Selain itu juga bagaimana kualitas guru dan kepala sekolah. Intinya kalau bisa memenuhi delapan standar tersebut maka tidak masalah. Yang dikomplain orang tua itu kan anak pintar tetapi dapat sekolah yang jelek," katanya.
Nurkamto juga mengatakan jika sistem zonasi dipaksakan maka ada dua kemungkinan yang terjadi, yaitu jika sekolah tidak dibenahi maka yang terjadi mungkin anak akan frustasi. Yang kedua, anak tidak mempermasalahkan hal itu namun orangtua tidak rela anak tidak memperoleh sekolah yang kualitasnya baik.
"Permasalahannya kalau anak frustrasi kan kasihan anaknya. Belajarnya tidak termotivasi lagi karena mereka mendapati sistem, lingkungan, dan teman-teman yang tidak baik," katanya.
Selain itu, kepadatan penduduk setiap daerah juga tidak sama yang berdampak pada jumlah siswa yang diperoleh sekolah. "Ini beberapa kasus yang terjadi, kan ada daerah yang satu sekolah hanya dapat lima orang karena kepadatan penduduk di masing-masing zona beda. Boleh jadi di satu sekolah targetnya tidak terpenuhi," katanya.
Untuk itu, menurutnya, perlu ada evaluasi yang dilakukan pemerintah dengan melibatkan banyak pihak, di antaranya orangtua siswa, siswa, guru, dan tokoh pendidikan.
"Mereka ditanyai bagaimana efektivitas sistem ini. Yang pasti perlu ada kajian yang lebih mendalam terkait zonasi. Mestinya pemerintah perlu mengantisipasi atau merespon, apa yang jadi masalah. Kalau ingin berjalan baik ya sistemnya diperbaiki," katanya.(gw/fin)