JAKARTA - Wacana dilarangnya mantan koruptor menjadi peserta pemilu kembali mencuat. Kali ini, untuk perhelatan Pilkada Serentak 2020. Sebelumnya, upaya penyelenggara pemilu menjegal eks koruptor pada Pemilu 2019 lalu, terganjal peraturan. Para pembuat UU harus segera menyikapi hal ini. Tujuannya agar Pilkada nanti steril dari napi eks koruptor.
Meski eks koruptor masih bisa mencalonkan diri menjadi wakil rakyat, Komisi Pemilihan Umum (KPU) berupaya untuk mempersempit ruang geraknya. Penyelenggara pemilu ini merilis daftar calon legislatif baik tingkat kabupaten/kota sampai DPR RI yang pernah tersangkut kasus korupsi.
Dasarnya, putusan inkracht yang sudah ditetapkan di pengadilan. Hanya saja, KPU tidak merilisnya secara langsung. Masih ada beberapa nama yang menyusul kemudian. Menunggu kepastian dari KPU di daerah untuk mengecek kembali agar tak terjadi kesalahan.
Sebelumnya, lembaga antirasuah meminta partai politik untuk tidak mengusung mantan koruptor pada Pilkada Serentak 2020. KPU mengatakan usulan tersebut sejalan dengan gagasan yang diajukan pada Pemilu 2019.
Komisioner KPU Pramono Ubaid Tanthowi mengatakan jika usulan Komisi Pemberantas Korupsi itu sebenarnya sejalan dengan gagasan yang diusung oleh KPU. Penyelenggara pemilu pernah melarang mantan napi koruptor dicalonkan sebagai caleg dalam Pemilu 2019 kemarin.
Pramono menegaskan gagasan yang diajukan KPU itu belum dapat dilaksanakan. Menurutnya, larangan mantan koruptor maju pada Pemilu 2019 terganjal putusan Mahkamah Agung (MA). "Persoalannya gagasan mulia KPU ini terganjal karena belum punya landasan yang kuat dalam hukum positif. Sehingga terganjal oleh putusan MA," kata Pramono di Jakarta, Senin (29/7).
Menurutnya, perlu adanya tindakan terkait usulan yang dilakukan KPK. Salah satu di antaranya mendesak pemerintah dan DPR untuk memasukan larangan eks koruptor dalam undang-undang Pilkada. "Agar usulan KPK ini agar tidak layu sebelum berkembang, maka gagasan ini perlu didesakkan kepada pembuat UU. Yaitu pemerintah dan DPR. Agar masuk dalam persyaratan calon yang diatur dalam UU Pilkada," paparnya.
Apabila hal tersebut tidak dapat dilakukan, Pramono menyebut ada opsi lain yang dapat diambil. Di antaranya dengan menyetujui larangan tersebut dimasukan dalam Peraturan KPU (PKPU). Atau, jika proses ini terlalu panjang, maka pemerintah dan DPR memberi persetujuan nanti, ketika KPU mengusulkan aturan ini dimasukkan dalam peraturan KPU tentang pencalonan kepala daerah dalam Pilkada.
Sementara itu, pakar Komunikasi Politik Emrus Sihombing menilai, upaya penyelenggara pemilu tersebut patut diacungi jempol. Masyarakat diminta jeli dalam memilih wakilnya di parlemen. Dengan latar belakang yang baik, diharapkan bisa menjadi wakil yang amanah.
Emrus juga sependapat jika peserta pemilu tidak boleh tersandung kasus korupsi sebelumnya. Hal ini dimaksudkan agar perilaku koruptif tidak kembali terulang. Bahkan, Emrus mengatakan, jika peserta pemilu juga harus membuka latar belakang secara gamblang. "Tidak ada yang ditutupi, apalagi kalau pendidikan. Dari situ, pemilih bisa melihat mana peserta pemilu yang memang kompeten dan pantas untuk dipilih. Hal ini juga bagus untuk pendidikan politik masyarakat," kata Emrus di Jakarta, Senin (29/7).
Akademisi Universitas Pelita Harapan ini menilai jika munculnya fenomena peserta pemilu mantan koruptor bermula dari kurangnya integritas partai dalam memberantas korupsi. Partai sebagai kendaraan politik, pasti tahu latar belakang calon yang diusung. Hanya saja, keinginan partai dalam memberantas korupsi belum kuat.
Ia menganalisa mengapa mantan koruptor masih bisa dicalonkan dalam pemilu. Menurutnya, lobi-lobi serta finansial dari mantan koruptor tersebut masih sangat kuat di internal partai. Sudah menjadi rahasia umum jika ingin maju dalam kontestasi pemilu harus memiliki modal yang cukup.
Hal senada disampaikan Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Haedar Nashir. Dia mendukung usulan tersebu. Dia meminta KPK membuat regulasi yang kuat terkait usulan itu. "KPK cukup progresif. KPK mengusulkan para terpidana korupsi itu tidak boleh maju dalam Pilkada. Langkah ini bagus supaya tidak ada zona toleransi terhadap korupsi," ujar Haedar.
Namun, yang terpenting adalah regulasi untuk mendukung usulan tersebut. Jangan sampai tidak ada payung hukumnya. Karena itu, KPK maupun para stakeholder pembuat UU diminta serius mempersiapkan hal ini. "Percuma saja kalu tidak ada dasar hukumnya. Ini penting agar KPU punya kekuatan dalam menjalankan tugasnya. Tidak boleh ada mantan koruptor ikut dalam Pilkada," tegasnya.
Seperti diketahui, wacana ini mencuat saat KPK meminta partai politik (parpol) tidak mencalonkan eks koruptor di Pilkada 2020. "KPK kembali mengingatkan agar pada Pilkada Tahun 2020 mendatang, partai politik tidak lagi mengusung calon kepala daerah dengan rekam jejak yang buruk," kata Wakil Ketua KPK Basaria Pandjaitan. (khf/fin/rh)