KEBUMEN (kebumenekpsres.com)- Masih ingat kejadian seorang guru yang kena tempeleng gegara emoh berjabat tangan (salaman) di masa pandemi covid-19 belum lama ini? Hingga sekarang Zaenal Mutaid, guru yang jadi korban dalam peristiwa ini menolak berdamai dengan pelaku.
Mengingatkan kembali, peristiwa penganiayaan ini terjadi pada Mei 2021 lalu. Saat itu, korban dan pelaku menjalankan saat Idul Fitri di Mushola Al Fattah Desa Sidomoro Kecamatan Buluspesantren. Usai menjalankan shalat berjamaan Idul Fitri, warga bersalam-salaman sebagai tanda saling memaafkan.
Hanya memang saat itu, kasus covid-19 tengah tinggi. Sehingga, pemerintah memberi himbauan untuk warga menjaga jarak. Di tengah situasi ini, pelaku, MD warga Sidomoro yang tengah mudik dari Jakarta, mengajak Zaenal Mutaid bersalaman. Namun Zaenal Mutaid menolak dengan alasan takut covid-19. Penolakan ini direspon MD dengan memukul dan menempeleng Zaenal Mutaid.
Tak terima dengan perlakuan MD, Zaenal Mutaid dengan melalui kuasa hukumnya melaporkan kasus ini kepada Polisi 17 Mei 2021. Rupanya, sakit Zaenal belum reda hingga kini. Hingga kemarin, Zaenal Mutaid belum mau membuka pintu mediasi atau menyelesaikan secara kekeluargaan.
Zaenal Mutaid, Minggu (19/11), menyampaikan ia pernah diundang untuk melakukan mediasi dengan didampingi aparat penegak hukum. "Karena ada urusan lain, saya memang tidak hadir. Saat itu, yang hadir kuasa hukum saya Dr Teguh Purnomo," ujar Zaenal.
Zaenal lantas mengungkapkan mengapa hingga saat ini belum bisa bisa memaafkan pelaku. Hingga kini, kata Zaenal, pelaku belum ada itikad baik untuk datang ke rumah atau meminta maaf secara langsung. Bahkan dari awal pelaku sudah sesumbar dan mengatakan silahkan laporkan ke aparat. "Saya disini sampai empat hari,” kata Zaenal menirukan ucapan pelaku di hari kejadian.
Sebagai korban, sekali lagi, Zaenal menegaskan jika perkara pemukulan tersebut harus diselesaikan secara hukum hingga ke Pengadilan. Sehingga pelaku dapat dihukum sesuai dengan perbuatannya.
Terpisah Pengacara Dr Teguh Purnomo membenarkan jika beberapa waktu lalu pihaknya menghadiri acara pertamuan mediasi. Namun apapun keputusan klienya yakni Zaenal Mutaid pihaknya akan membackup sepenuhnya. “Sebagai PH saya akan membackup penuh keputusan klien saya,” tegasnya.
Menurut Dr Teguh apa yang diinginkan oleh kliennya yakni menyelesaikan persoalan secara hukum adalah hal yang wajar. Sebab dirinya merupakan korban dari perkara tersebut. “Mediasi adalah hak korban dan pelaku,” ungkapnya.
Ditegaskannya mediasi atau restorative justice (RJ) memang kini tengah digaungkan oleh aparat penegak hukum. Namun demikian perlu dipahami bahwa hak dari RJ itu adalah korban dan pelaku. Jika korban dan pelaku sama-sama menghendaki adanya RJ. Artinya korban mengiyakan dan pelaku menginginkan, tentu hal tersebut dapat terlaksana.
“Sebaliknya jika aparat penegak hukum yakni pengacara, polisi dan lainnya justru kemajon dalam mengusahakan JR, ini justru dapat berpotensi menjadi tindak pidana baru. Hal tersebut tentu saja dapat dilaporkan,” jelasnya.
Sebab, lanjut Dr Teguh, jika RJ muncul dari aparat penegak hukum misalnya pengacara atau yang lainnya, ini rawan penyalahgunaan wewenang. Untuk itu penegak hukum jangan berani-berani yang melakukan RJ. (mam)