• Berita Terkini

    Rabu, 09 Februari 2022

    Banjir Bandang 1861, Musibah Besar yang Terlupakan


    KEBUMEN(kebumenekspres.com)-Sebuah peristiwa mengerikan pernah terjadi pada 21-23 Februari 1861. Kala itu masih jawa masih di bawah kekuasaan Hindia Belanda. Peristiwa mengerikan tersebut yakni banjir besar yang melanda sebagian besar wilayah Jawa khususnya Jawa Tengah. 


    Ini tidak terkecuali di Kebumen yang kala itu masih berada di bawah Karesidenan Bagelen. Anehnya, peristiwa banjir besar ini tidak terekam dalam memori kolektif masyarakat. Ini  baik berupa monumen, plakat, tulisan babad atau tradisi lisan. Ini berbeda dengan di Banyumas yang mana masyarakat mengenang masa menakutkan tersebut dengan sebutan Blabur Banyumas dan sejumlah prasasti.


    Hal ini disampaikan oleh Peneliti Sosial dan Pegiat Wisata Sejarah di Historical Study Trips Teguh Hindarto SSos MTh, Rabu (9/2/2022).


    Berdasarkan ketiadaan memori kolektif masyarakat ataupun penanda peringatan berupa monumen dan lainnya, maka pihaknya akan melakukan pelacakan dokumen-dokumen era kolonial. Khususnya berita-berita di surat kabar. Ini untuk mendapatkan gambaran yang cukup mewakili dan merepresentasikan mengenai besaran dan dampak kerusakan mengerikan yang ditimbulkan dari peristiwa banjir besar tahun 1861 tersebut.


    “Sebuah berita berjudul, Watersnod op Java dua bulan pasca banjir yang diterbitkan oleh surat kabar De ‘s Gravenhaagsche Nieuwsbode 17 April 186 telah memberikan deskripsi,” tuturnya.


    Disampaikannya, sebuah bencana besar (Een groote ramp) telah melanda sebagian besar Pulau Jawa yang indah. Dimana hujan tiba-tiba (Plotselinge regens) di belahan bumi Utara sangat deras. Dalam beberapa jam telah mengangkat sungai dan mengalir deras setinggi sepuluh kaki. “Tetapi kemudian dengan kekerasan yang tak tertahankan menyapu dan menghancurkan segalanya. Baru-baru ini telah merusak beberapa provinsi di Pulau Jawa sedemikian rupa,” katanya.


    Puluhan ribu penduduk pribumi, lanjutnya, telah kehilangan harta benda. Sementara kerugian besar nyawa manusia, menurut kabar terakhir, bahkan belum dapat dipastikan. Dari laporan tersebut hujan yang sangat deras menjadi penyebab banjir yang meluluh lantakkan  sebagian besar wilayah di Jawa. 


    “Jika membaca artikel berjudul Overstrooming op Java yang ditulis Surat Kabar Nieuwe Rotterdamsche Courant pada 28 April 1861 disebutkan wilayah terdampak banjir di Jawa Tengah adalah Karesidenan Bagelen meliputi kabupaten Ledok/Wonosobo, Purworejo, Kutoarjo, Ambal, Kebumen, Karanganyar,” jelasnya.

    Sedangkan Karesidenan Kedu meliputi Temanggung dan Magelang di kawasan yang tinggi terdampak pula. Bahkan di Karesidenan Banyumas yang meliputi Banyumas, Purwokerto, Cilacap, Banjarnegara, Purbalingga.


    Selain itu wilayah Kasunanan Surakarta dan wilayah Kasultanan Yogyakarta juga turut terdampak hebat. Beberapa wilayah Jawa Timur seperti Surabaya dan Pacitan dilaporkan terkena banjir hebat. Demikian pula di Jawa Barat yaitu Krawang.


    “Dalam laporan surat kabar di atas ternyata beberapa wilayah di luar Jawa seperti Sumatra, Bengkulu, Riau, Nias mengalami peristiwa mengerikan pada  16-17 Februari 1861 yaitu berupa gempa bumi yang merusak bangunan dan sejumlah infrastruktur lainnya,” ungkapnya.


    Lantas sejauh mana banjir besar telah menghancurkan wilayah Karesidenan Bagelen dan Kedu? Untuk mengetahuinya dapat melihat deskripsi dan kronologi peristiwa mengerikan itu dengan merujuk laporan dari surat kabar Java Bode 6 April 1861 mengenai banjir di wilayah Bagelen.


    Dilaporkan bahwa sejak 25 Desember 1861 yang biasanya cuaca berhujan, justru mengalami kekeringan hebat dan panas yang luar biasa (jaargetijde buitengewone droogte en hitte). Situasi ini menimbulkan rekahan-rekahan tanah menganga di sejumlah tempat termasuk di perbukitan yang sangat berbahaya jika hujan deras turun secara tiba-tiba.

    Kekeringan itu berlangsung hingga akhir Januari. Pada 19 Februari dilaporkan angin kencang mulai bertiup dari arah Barat Daya. Sore hari 20 Februari, hembusan angin yang awalnya terputus-putus berubah menjadi badai yang ganas. Ini disertai dengan hujan lebat yang semakin meningkat intensitasnya selama 24 jam. Kemudian membentuk lingkaran besar, yang titik pusatnya terbentuk kira-kira di Kabupaten Kutoarjo.


    Teguh juga menyampaikan, dijelaskan dalam surat kabar tersebut di Kabupaten Ambal, Kebumen, Ledok/Wonosobo, dan Purworejo pohon beringin, kanari, asam, dan jati terbesar ratusan tumbang dan tumbang oleh kekuatan badai. Bahkan ranting tipis semak bambu pun tidak mampu berdiri akibat menahan hembusan angin yang kencang.

    “Puncaknya pada 21-22 Februari 1861, hujan deras terus menerus turun tanpa henti. Pada malam 22 hingga 23 Februari semua sungai, terutama yang berhulu di dataran tinggi Ledok, mulai meluap. Peluapan itu begitu tiba-tiba sehingga dalam waktu kurang dari satu jam ratusan desa dan ribuan hektar tanah terendam banjir, dan banyak keluarga yang sedang tidur nyenyak meninggal dalam gelombang,” jelasnya.

    Di Kabupaten Purworejo air Sungai Bogowonto meluap dan luapaan airnya yang menyebabkan kerusakan terbesar di sana. Ketinggian air disebut, naik pada ketinggian yang belum pernah terjadi.

    Pada malam 22 Februari, ketinggiannya mencapai 25 kaki di atas ketinggian air atau sekitar 7,62 meter. Arus yang mengamuk menyapu ke mana-mana di mana sebuah tikungan memotong jalannya, menyapu seluruh negeri, menyeret orang, ternak, rumah, dan pohon, bahkan pohon kelapa di jalurnya.

    Hingga kini di wilayah Banyumas peristiwa banjir besar 1861 masih tersimpan dalam memori kolektif masyarakat. Memori kolektif tersebut tersimpan dalam sejumlah plakat penanda di sebuah bangunan, babad, legenda, buku harian, buku reportase.


    Kabupaten Kebumen yang berada di wilayah Karesidenan Bagelen mengalami sejumlah dampak banjir yang mematikan. Beberapa wilayah yang tercatat dalam surat kabar Java Bode pada 6 April 1861  adalah di Jlegi, bendung Bedegolan, Kutowinangun, Ambal.


    Selain itu seluruh wilayah Prembun, sebagian besar Kedungtawon Kutowinangun dalam beberapa saat terendam banjir. Seperti halnya Bogowonto, arus deras yang memotong lekukan di sepanjang tepian sungai, mengalir deras melalui desa dan ladang 148 desa menunjukkan pemandangan kehancuran yang mengerikan setelah air surut.

    Di mana arus deras tidak membawa rumah-rumah, maka sejumlah  rumah tergeletak runtuh dan berserakan di tanah. Di desa Kedoeg-soemoer, Ketjeme, Babat dan Tersobo, bahkan pohon kelapa pun tak luput. Di Djlegi, dari 151 jiwa, hanya 44 yang masih hidup. Semua yang lain binasa dalam gelombang.


    Di Kabupaten Ambal, kerusakan di desa relatif kecil. Namun rawa-rawa besar di sana, meluap jauh melampaui tepiannya. Sehingga airnya menembus ke jalur desa Urut  Sewu dan penduduk harus mengungsi ke tempat bukit pasir yang lebih tinggi.


    Jika dalam laporan surat kabar Java Bode pada 6 April 1861 disebutkan di Ambal tidak ada korban, barangkali karena belum teridentifikasi dengan baik. Sementara dalam surat kabar Javaasche Courant 2 dan 6 Maret 1861 yang dikutip Nieuwe Rotterdamsche Courant 28 April 1861 disebutkan bahwa orang-orang Ambal telah melarikan diri ke bukit-bukit pasir.

    “Lebih dari 700 orang telah tewas. Sejak 26 Februari, situasinya membaik. Kabel telegraf telah digali hingga ke perbatasan Kedu. Sungai-sungai mulai surut pada tanggal itu,” ujarnya.


    Sementara itu, debit air di Bendung Bedegolan mencapai ketinggian lebih dari 40 kaki atau kisaran 12,92 meter dan meluap mencapai desa Jlegi dan menghancurkan areal pesawahan dan rumah warga desa.


    Apa yang dituliskan ini sebatas apa yang dilaporkan oleh media surat kabar pada tahun tersebut dan tahun-tahun selanjutnya. Bisa jadi kerusakan parah terjadi di sejumlah tempat lain di Kebumen yang tidak dituliskan atau belum ditemukan datanya. (mam)


    Berita Terbaru :


    Scroll to Top