Dani Rizana |
Era disrupsi ditandai dengan perkembangan digital yang begitu pesat menuntut para penggiat pendidikan untuk lebih kreatif dan menghadirkan cara dan paradigma baru. Pada era disrupsi ini banyak perubahan yang begitu cepat terjadi, yang paling menonjol lebih dominannya akses media social ataupun teknologi informasi.
Teori disruption pertama kali dikenalkan oleh Christensen. Disruption menggantikan “pasar lama” industri dan teknologi untuk menghasilkan kebaruan yang lebih efisien dan menyeluruh. Ia bersifat destruktif dan creative
Secara praktis Disrupsi adalah perubahan berbagai sektor akibat digitalisasi dan “internet of thing” (IoT) atau “Internet untuk Segala Hal”. Contoh disrupsi adalah media cetak menjadi media online atau situs berita, ojek pangkalan menjadi ojek online (ojol), pasar menjadi marketplace atau toko online (e-commerce), belajar tatap muka menjadi pembelajaran online dan digitalisasinya lainnya.
Dalam dunia pendidikan disruption harus dihadapi. Pendidik harus melek dengan teknologi. Kelas akan menjadi rombongan belajar yang terhimpun dalam “grup-grup” Whatsapp. Pendidik dengan mudah menyampaikan materi melalui media tersebut. Bisa juga dengan kelas online melalui teleconference seperti Zoom Meeting, Google meet, dan lain sebagainya sehingga Jarak bukan menjadi masalah.
Memasuki era disrupsi teknologi, kita perlu mengambil pandangan lebih luas dengan menarik situasi pendidikan kita ke dalam konteks evolusi kebudayaan masyarakat pasca modern. Mengutip pandangan sejarawan Toynbee, bahwa melangkah ke suatu fase peradaban, kita memang harus bersiap melewati suatu transisi dari kondisi statis ke aktivitas dinamis.
Menurut Toynbee, pola dasar dalam terjadinya peradaban itu adalah hasil pola interaksi yang disebutnya dengan “tanggapan dan tantangan”. Tantangan dari lingkungan alam dan sosial-lah yang akan memancing tanggapan kreatif dalam suatu masyarakat, atau kelompok sosial, yang mendorong masyarakat kita memasuki proses peradaban baru sebagai langkah lanjut dari perubahan sosial.
Ketidakseimbangan lembaga pendidikan kita menghadapi situasi pandemi di era disrupsi, harus dibarengi dengan tanggapan-tanggapan terhadap tantangan ini guna membangkitkan momentum pendidikan kita. Hal ini akan membawa kita keluar dari kondisi krisis memasuki suatu “keseimbangan baru yang tampil sebagai tantangan baru”, meminjam istilah Fritjopf Capra, penulis buku titik balik peradaban. Bahwa kita harus siap menghadapi suatu “disequilibrium” yang memang menuntut kita melakukan penyesuaian-penyesuaian kreatif baru.
Kita tidak cukup hanya berdamai dengan keadaan saat ini tetapi perlu melakukan terobosan-terobosan menghadapi perubahan yang dramatis dan penuh resiko tersebut. Pijakan kita adalah menggerakan roda sejarah dunia pendidikan yang di dalamnya ada visi baru tentang realitas, seperti yang pernah diungkapkan Capra, bahwa kita butuh sebuah visi yang memungkinkan munculnya daya yang mampu menstransmisikan dunia kita ke dalam sebuah aliran yang padu, menjadi gerakan positif bagi perubahan sosial.
Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek), Nadiem Anwar Makarim pun telah mengakui bahwa disrupsi teknologi ikut mempengaruhi dunia pendidikan. “Namun, tidak ada pilihan selain beradaptasi dan berinovasi. Dapat menjadikan disrupsi sebagai solusi.
Kemajuan peradaban dalam dunia pendidikan sebagai dampak adanya kemajuan teknologi informasi dan internet harus disikapi dengan bijak, jangan sampai berbagai kemudahan atas adanya teknologi mengikis salah satu tujuan pendidikan yaitu mencetak generasi yang cerdas, unggul, kompetitif serta mempunyai adab dan akhlak yang baik.
Untuk itu, Pengembangan dan peningkatan kualitas sumberdaya manusia, hal ini sangat relevan dengan persaingan yang begitu kompetitif maka perlu peningkatan kualitas baik teknis maupun nonteknis, Pengembangan kurikulum atau bahan ajar yang mampu memberikan dorongan bagi murid untuk lebih antusias dalam belajar bisa mengunakan pembelajaran berwawasan global dan pendekatan teknologi, Meningkatkan sarana dan prasarana berbasis teknologi digital, Meningkatkan imun spiritualitas agar terbentuknya ahlak atau karakter yang kuat,
Mengutip apa yang disampaikan Prof Nizam Pandemi Covid-19 telah memberikan gambaran atas kelangsungan dunia pendidikan di masa depan melalui bantuan teknologi. Namun, teknologi tetap tidak dapat menggantikan peran guru, dosen, dan interaksi belajar antara pelajar dan pengajar sebab edukasi bukan hanya sekedar memperoleh pengetahuan tetapi juga tentang nilai, kerja sama, serta kompetensi. Situasi pandemi kemarin menjadi tantangan tersendiri bagi kreativitas setiap individu dalam menggunakan teknologi untuk mengembangkan dunia pendidikan.
Kedepan akan seperti apa disrupsi peradaban dalam dunia pendidikan? Mari kita nantikan!
Penulis: Mahasiswa PDIE Universitas Islam Indonesia