Oleh : Arfan Fadilah Rahman (Mahasiswa UIN Jakarta)
Minyak nabati merupakan minyak yang didapatkan dengan cara mengekstrak bagian tumbuhan dan termasuk kedalam senyawa organik yang tidak dapat larut dalam air, tetapi hanya dapat larut pada pelarut organik non polar (golongan lipid).
Pada umumnya minyak nabati mengandung 90-98%
tiga asam lemak yang terikat pada gliserol (Trigliserida). Minyak nabati
memiliki banyak sekali manfaat bagi tubuh manusia seperti dapat meningkatkan
metabolisme, menurunkan resiko kanker payudara, dan melembutkan kaki yang
pecah- pecah. Meskipun memiliki banyak manfaat, namun terdapat juga dampak
negatif dari penggunaan minyak nabati terhadap kesehatan tubuh manusia, jika
dikonsumsi secara berlebihan seperti dapat meningkatkan resiko penyakit
jantung, memicu penyakit obesitas, dan dapat menyebabkan penyakit stroke.
Kemurnian minyak nabati dapat dilihat dari berbagai aspek seperti angka asam,
angka penyabunan, angka lod, angka peroksida, dan densitas (berat jenis).
Menurut Statista.com total konsumsi minyak
nabati di dunia pada tahun 2020-2021 mencapai angka 207,93 juta metrik ton (MT)
dengan minyak kelapa sawit sebagai minyak nabati yang paling sering dikonsumsi
masyarakat di seluruh dunia yang mencapai angka 75,45 juta metrik ton (36,3%),
setelah minyak kelapa sawit terdapat jenis- jenis minyak nabati yang lain
seperti minyak kedelai sebesar 59,48 juta metrik ton (28,64%), minyak biji rami
sebesar 27,64 juta metrik ton (13,3%), minyak biji bunga matahari sebesar 19,2
juta metrik ton (9,14%), minyak biji kacang sebesar 6,17 juta metrik ton
(2,96%), minyak biji kapas sebesar 4,89 juta metrik ton (2,35%), minyak kelapa
sebesar 3,67 juta metrik ton (1,16%), dan minyak zaitun sebesar 3,1 juta metrik
ton (1,14%).
Pada awal tahun 2022 konflik antara Rusia dengan Ukraina kian
memanas. Hal tersebut terjadi dikarenakan pada masa pemerintahan Presiden Ukraina
Volodymyr Zelenskyy, pihak Rusia merasa jika kepemimpinan Volodymyr lebih
condong berpihak kepada negara-negara barat dan Amerika serikat dibandingkan
dengan Rusia, hal tersebut terlihat dengan keinginan Ukraina untuk bergabung
kedalam Organisasi Pertahanan Atlantik Utara (NATO) dan hal tersebut membuat
pihak Rusia merasa terancam dengan tindakan- tindakan yang diambil oleh pihak
Ukraina yang tidak menguntungkan atau bahkan merugikan pihak Rusia.
Jika melihat dari sejarah masa lalu antara
Rusia dengan Ukraina. Pada saat itu Rusia dan Ukraina masih merupakan mkesatuan
negara federasi yang bernama Uni Soviet, namun pada tahun 1991 atau setelah
perang dingin dengan Amerika Serikat terjadi, Uni Soviet resmi dibubarkan dan
kemudian terbentuklah negara- negara seperti Ukraina yang memutuskan untuk
membuat negaranya sendiri yang disetujui oleh Presiden Rusia pada masa itu yang
bernama Boris Yeltsin.
Suatu kesalahan yang sangat besar jika
menganggap perang antara Rusia dengan Ukraina tidak berdampak terhadap komoditas
minyak nabati di dunia, yang dimana faktanya perang ini sangat berdampak
terhadap ekonomi global terutama pada komoditas minyak nabati. Berdasarkan
negara dengan penghasil biji bunga matahari terbesar di dunia, Ukraina
menempati posisi pertama dengan luas lahan bunga matahari mencapai 6 juta
hektar yang dapat menghasilkan sekitar 13,6 juta ton setiap tahunnya, pada
posisi kedua ditempati oleh Rusia dengan jumlah produksinya mencapai sekitar
10,5 juta ton setiap tahunnya.
Jika melihat dari data diatas dan
kondisi saat ini, maka dapat dipastikan jika pasokan minyak nabati akan terkena
dampak yang besar terutama untuk kawasan Eropa yang sangat bergantung kepada
minyak biji bunga matahari, hal tersebut dikarenakan pada tahun 2007 Persatuan
Bangsa- Bangsa (PBB) mengatakan bahwa produksi komoditas kelapa sawit di
Indonesia yang merupakan negara penghasil kelapa sawit terbesar di dunia telah
melakukkan deforestasi besar besaran dan merupakan pemicu utama terjadinya
deforestasi di Indonesia, Berbagai dampak negatif akan muncul jika deforestasi
terus dilakukan seperti dapat menyebabkan pemanasan global, berkurangnya hutan
primer, dan punahnya spesies lain.
Tidak hanya itu mengingat posisi
Indonesia yang seringkali di cap sebagai paru-paru dunia yang membuat deforestasi
di Indonesia memiliki pengaruh yang besar terhadap dunia. Kalimantan merupakan
salah satu deforestasi yang pernah terjadi di Indonesia, sekitar 14.000 orang
utan Borneo dinyatakan hilang dan terdapat sekitar 3,5 juta hektar lahan
perkebunan kelapa sawit yang masuk kedalam kawasan hutan.
Kemudian pada tahun 2017 Parlemen
Eropa secara resmi melarang dan menghapus penggunaan bahan bakar hayati yang
terbuat dari minyak kelapa sawit. Namun dikarenakan perang Rusia-Ukraina
terjadi, maka produksi minyak bunga matahari menjadi turun drastis dan membuat
jenis- jenis minyak nabati lainnya terutama minyak kelapa sawit menjadi jalan
keluar untuk negara- negara yang bergantung pada minyak bunga matahari.
Permintaan minyak kelapa sawit di
berbagai negara terlihat mengalami kenaikan yang signifikan seperti yang
terjadi di Bangladesh yang volume import kelapa sawitnya naik hingga 27,75%,
Mesir dengan kenaikkan mencapai 6,64%, Pakistan dengan kenaikkan sebesar 6,7%,
dan tak ketinggalan negara-negara di kawasan eropa yang notabene bergantung
sekali terhadap minyak bunga matahari menaikkan volume impornya dengan
signifikan salah satunya Inggris yang volume impornya naik menjadi 5,8% dan
jika dilihat secara keseluruhan maka kawasan eropa mengalami kenaikkan yang
sangat tinggi sekitar 32% dalam impor minyak kelapa sawit, meskipun hal
tersebut sangatlah berbanding terbalik dengan keputusan Parlemen Eropa tentang
komoditi minyak kelapa sawit.
Dikarenakan hal-hal tersebut
seperti penurunan pasokan minyak nabati dan kebutuhan masyarakat di dunia
terhadap minyak
nabati yang tinggi menyebabkan harga minyak nabati menjadi naik pesat dan tidak
hanya berlaku untuk negara pengimpor minyak nabati tetapi juga negara
pengekspor minyak nabati salah satunya adalah negara Indonesia yang notabene
adalah negara penghasil kelapa sawit terbesar di dunia juga mengalami kenaikkan
harga, terutama pada komoditi minyak kelapa sawit yang dimana kenaikkan
tersebut tembus hingga sekitar 80%, pada tahun 2019 harga minyak kelapa sawit
di Indonesia perliternya hanya mencapai Rp.14.000 untuk minyak kemasan kini
harganya menjadi Rp.26.000 perliternya.
Kondisi tersebut semakin
diperparah dengan kondisi masyarakat Indonesia yang sangat identik cara
memasaknya menggunakan teknik menggoreng yang menyebabkan permintaan minyak
kelapa sawit di Indonesia sangatlah tinggi dan tak jarang disamping mengalami
kenaikkan harga minyak kelapa sawit terjadi juga kelangkaan minyak kelapa sawit
di berbagai daerah di Indonesia.
Kelangkaan dan harga yang
melonjak salah satunya dapat di atasi dengan pelarangan atau pembatasan ekspor
minyak kelapa sawit oleh pemerintah Indonesia, dan hal tersebut sudah dilakukan
oleh pemerintah yang melarang ekspor minyak kelapa sawit yang membuat pasokan
minyak kelapa sawit dalam negeri bertambah dan terjadinya penurunan harga,
namun pelarangan tersebut hanya terjadi sekitar 3 minggu dan kemudian dicabut
dikarenakan memikirkan nasib dari 17 juta tenaga kerja pada industri kelapa
sawit.(*)