Diyakini Bukan Dibangun AD Daendels, Kini Jadi Rute Alternatif
Belum lama ini, Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo menyebut pemerintah telah menyiapkan anggaran 58 miliar untuk memperbaiki Jalan Daendels. Kabar ini cukup melegakan mengingat, Jalan Daendels merupakan jalan penuh sejarah. Tak hanya bagi warga Kebumen namun juga nasional
----------------
IMAM WAHYUDI, Kebumen
--------------------
Bagi masyarakat Kebumen, Nama Jalan Daendels sudah sangat akrab di telinga. Sebelum dibangunnya Jalan Lingkar Selatan-Selatan (JLSS) antara tahun 2015-2018. Kawasan Jalan Daendels yang membentang dari daerah Brosot di Kulon Progo hingga daerah Karang Bolong di Kebumen menjadi rute alternatif, selain Jalan Nasional yang menghubungkan Yogyakarta menuju Cilacap atau Banyumas atau sebaliknya.
Terkait dengan Jalan Daendels di Kawasan Selatan Kebumen, ada yang yang menulis bahwa jalan tersebut dibangun tahun 1838 saat seorang Asisten Residen bernama August Dirk Daendels bertugas di Kabupaten Ambal. Kini Ambal menjadi Wilayah kecamatan di Kebumen. Namun tahun 1830-1871, Ambal merupakan sebuah Kabupaten bersama dengan Ledok (Wonosobo), Kutoarjo, Purworejo, Kebumen, Karanganyar di bawah karesidenan Bagelen (1830-1900) dan Karesidenan Kedu (1901-1952).
Lantas, benarkah jalur jalan di kawasan selatan ini telah dibangun tahun 1838 oleh AD Daendels? Benarkah penamaan nama Jalan Daendels berkaitan dengan mengenang keberadaan asisten residen yang pernah bertugas di Ambal sekaligus sebagai damnatio memoriae alias “Pengutukan Memori” atau “dihilangkan dari ingatan orang” karena kawasan jalan ini pernah menjadi rute perjalanan Pangeran Diponegoro?
Dalam hal ini Peneliti Sosial dan Pegiat Wisata Sejarah di Historical Study Trips, Teguh Hindarto SSos MTh menyampaikan dari beberapa data, AD Daendels (bukan HW Daendels) memang pernah menjadi Asisten Residen Kebumen (1832) dan Asisten Residen Ambal (1837). Namun ketika tahun 1838 yang menjadi asisten residen di Ambal bukan lagi AD Daendels melainkan Schmidt Auf Altenstadt (yang juga pernah menjabat sebagai asisten residen di Kebumen).
“Ada data menarik dari sebuah artikel berjudul, De Reis Over Java, in 1838, Van Den Gouverneur- Generaal van Nederlandsen Indie yang dimuat dalam Tijdschrift voor Nederlandsch Indie 1859. Isi artikel ini menceritakan sebuah perjalanan Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang ke-45 yang bernama Dominique Jacques de Eerens (memerintah antara tahun 1836 – 1840) dari Batavia ke Karesidenan Yogyakarta, Karesidenan Bagelen, Karesidenan Banyumas dll,” tuturnya, Minggu (26/3).
Disampaikannya, jurnal yang dimuat dalam majalah tersebut ditulis oleh salah satu teman seperjalanan yang menemani Gubernur Jenderal Eerens dalam perjalanan inspeksinya di Jawa pada tahun 1838 dan membantu gambaran tentang ciri-ciri dan karakeristik wilayah yang dilewati yang belum banyak diketahui semua orang.
“Saya ringkaskan perjalanan tersebut pada bagian yang perlu terkai dengan tanggapan ini yaitu ketika rombongan Gubernur Jendral memasuki wilayah Bagelen tanggal 1 Juli 1838 setelah melewati Yogyakarta menuju Bagelen, rombongan diantar Paku Alam sampai ke perbatasan Bagelen di Sungai Bogowonto,” jelasnya.
Dikatakan, di Paal 19 terdapat sebuah “benting” (benteng) dengan dikelilingi tembok (muur) yang disebut "Gaboor", tempat Paku Alam telah menyiapkan dejeuner (bahasa Prancis yang artinya “jamuan makan pagi”). Dari sini jalan (weg) dan tanah (landen) di sekitarnya mulai rusak (slechter te worden). Pasir dalam dan tanah gersang membentang dari sini hingga perbatasan Bagelen. Melewati jalan ini seseorang dapat melihat Laut Selatan dengan lebih dekat (1859:461).
Melalui deskripsi di atas bisa melihat bagaimana kondisi jalan di kawasan pesisir pantai yang menjadi wilayah Karesidenan Yogyakarta yang berbatasan dengan Karesidenan Bagelen dalam keadaan rusak. Jika memang tahun 1838 sudah ada pembangunan jalan yang baik di sepanjang Kawasan Pantai Selatan, pastilah tidak akan dideskripsikan kerusakan jalan tersebut.
Ketika tiba di paal 33, yaitu di sisi kiri sungai Bogowonto, adalah batas Karesidenan Bagelen. Di seberang sungai adalah wilayah Karesidenan Bagelen. Di sini telah menunggu Residen Bagelen, Ruijtenbach, Asisten Residen Ambal, Schmidt Auf Altenstadt, serta Bupati Ambal Tumenggung Poerbonegoro (artikel ini keliru menulis “Parto Nagoro”) dan komandan militer Karesidenan Bagelen bernama Letnan Kolonel Van Biehl. Setelah sampai di sini, Residen Yogyakarta yang bernama Valck, Pangeran Paku Alam dan putra-putranya yang mendampingi rombongan Gubernur Jendral Dominique Jacques de Eerens berpamitan.
Apa yang dapat disimpulkan dari kutipan artikel perjalanan tahun 1838 dalam majalah Tijdschrift voor Nederlandsch Indie (1859)? Pertama, Asisten Residen di Ambal bukan lagi AD Daendels melainkan Schmidt Auf Altenstadt. Kedua, kondisi jalan di pesisir pantai tidak bagus alias rusak.
“Ketiga, tidak ada pembangunan jalan yang dilakukan AD Daendels pada tahun 1838 untuk mengabadikan dirinya apalagi melakukan “damnatio memoriae’ (pengutukan sebuah kenangan) terhadap jalur yang pernah dipergunakan oleh Pangeran Diponegoro. Keempat, sekalipun kondisi jalan tidak baik namun sebelum 1838 jalan yang menghubungkan kawasan pesisir selatan sudah dibuka hingga Karangbolong yang berbatasan dengan regentschap Banyumas,” ungkapnya.
Yang harus ditanyakan adalah, siapakah yang memberikan nama jalan sepanjang kawasan pesisir pantai selatan yang melewati Ambal ini dengan sebutan Jalan Daendels, sementara dokumen kolonial tidak pernah menamai rute jalan tersebut dengan sebutan Jalan Daendels?
Teguh menjelaskan, dalam sebuah artikel berjudul, Bijdrage tot de Geschiedenis der Vorstenlanden (Kontribusi Terhadap Sejarah Negara Kerajaan) yang dimuat dalam Tijdscrift Voor Nederlandsche Indie (1876) dikatakan “Yang ketiga - sejauh yang saya tahu, danau terbesar di Jawa - danau Rawa Wawar di karesidenan Bagelen, menanggulangi kelebihan airnya, melalui saluran pengalihan alami, yang menghalangi jalan pos dekat Ambal, di belakang bukit pasir yang berjarak lebih dari dua jam, ke pantai selatan di Laut Hindia”.
Frasa, “dat den postweg naar en nabij Ambal coupeert” (yang menghalangi jalan pos dekat Ambal) telah dikenal sejak tahun 1876 berarti sebelum atau sesudah tahun tersebut bisa jadi itulah penamaan jalan yang melintas di jalur selatan tanpa nama khusus tertentu.
“Belum dapat dipastikan siapa yang memulai menamai jalur jalan tersebut dengan nama Daendels. Nampaknya beberapa dugaan sementara penamaan Jalan Daendels bertujuan menyematkan sebuah kenangan terhadap nama seorang Asisten Residen yang pernah bekerja di Ambal menjadi sebuah nama jalan,” jelasnya.
Dugaan berikutnya, bisa juga dikaitkan dengan popularitas nama HW Daendels yang membangun Jalan Raya Pos sepanjang kurang lebih 1000 kilometer terbentang sepanjang Utara Pulau Jawa, dari Anyer sampai Panarukan, patut menjadi sebuah pertimbangan menyamakan kawasan memanjang di jalur selatan Kebumen hingga Purworejo ini sebagai nama jalan.
“Namun keberadaan jalan ini bukan dibangun oleh AD Daendels di tahun 1838 karena sebelum tahun tersebut jalan penghubung di kawasan pantai selatan sudah dibuka,” ucapnya. (mam)