Ganjar Pranowo dan Anies Baswedan dapat dipastikan akan bertarung memperebutkan kursi RI 1 pada 2024 mendatang. Ganjar Pranowo sejak 21 April 2023 lalu setidaknya telah mendapatkan tiket pencapresan dari PDI-Perjuangan, Partai Hanura, dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Sementara Anies Baswedan dicalonkan Partai Nasdem, Partai Demokrat, dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) sejak enam bulan lalu.
Selain Ganjar dan Anies, calon presiden yang memiliki kans besar untuk turut serta dalam kontestasi pilpres adalah Prabowo Subianto. Menteri Pertahanan tersebut setidaknya telah didukung Partai Gerindra dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dalam Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya. Jika benar, maka Prabowo akan menjadi calon presiden dengan pengalaman terbanyak mengikuti pilpres, yaitu 2009, 2014, 2019.
Sementara bagi Ganjar dan Anies, pilpres 2024 mendatang adalah kontestasi pertamanya untuk menjadi orang nomor satu di republik ini. Keuda mantan aktivis mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM) tersebut dinilai memiliki modal politik yang sangat penting, yaitu kemampuan komunikasi publik di atas rata-rata.
Meskipun demikian, keduanya juga memiliki perbedaan yang cukup signifikan. Bahkan, antara Ganjar dan Anies tidak jarang dipandang sebagai sebuah antitesis. Oleh Larry Diamond, seorang ahli politik, antitesis dalam politik dipandang sebagai perbedaan atau kontras yang tajam dalam pandangan, nilai, atau kebijakan politik antara kedua kelompok atau partai yang berlawanan dalam suatu sistem politik.
Wacana antitesis dalam proses pemilu sangat penting. Hal tersebut dapat membantu pemilih untuk memahami perbedaan antar kandidat. Dengan demikian, pemilih bisa memilih sesuai dengan pandangan atau kepentingan mereka.
Ganjar dan Anies
Ganjar dan Anies memiliki perbedaan yang cukup mencolok, yaitu terkait karir politiknya. Ganjar dicapreskan oleh partai politik yang diikutinya sejak 1996, yaitu Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang kelak menjadi PDI-Perjuangan. Dalam politik, Ganjar meniti karir dari menjadi anggota DPR RI tahun 2004 dan ditugaskan di Komisi IV yang mengawasi bidang pertanian, perkebunan, kehutanan, kelautan, perikanan, dan pangan.
Sukses di periode pertama, Ganjar kembali terpilih menjadi anggota DPR RI pada periode 2009-2014. Dia bahkan menjadi Wakil Ketua Komisi II DPR RI yang membidangi pemerintahan dalam negeri, otonomi daerah, aparatur negeri, reformasi birokrasi, pemilu, pertanahan dan reformasi agraria.
Belum selesai dengan tugasnya tersebut, Ganjar kemudian dicalonkan menjadi Gubernur Jawa Tengah pada tahun 2013. Kembali sukses di periode pertama, Ganjar lantas dicalonkan kembali pada pilkada 2018. Catatan karier politik inilah yang diprediksi melatarbelakangi Megawati memilih Ganjar ketimbang putrinya sendiri. Ganjar setidaknya diharapkan bisa meneruskan pembangunan yang telah dimulai oleh Presiden Jokowi yang juga kader PDI-Perjuangan.
Sementara Anies, ia belum pernah tercatat sebagai kader partai politik tertentu. Meskipun demikian, pencetus Indonesia Mengajar tersebut pernah mengikuti konvensi calon presiden dari Partai Demokrat pada tahun 2013. Namun, Anies tidak mendapatkan tiket pencapresan dari konvensi tersebut.
Hingga pada akhirnya, Anies menjadi relawan Presiden Jokowi dan kemudian menjabat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) selama dua tahun dari 2014-2016. Pasca lengser dari jabatan Mendikbud, nama Anies tidak tenggelam. Anies bahkan dicalonkan menjadi Gubernur DKI Jakarta periode 2017-2022 oleh Partai Gerindra, PAN, dan PKS. Anies pun memenangkan kontestasi tersebut.
Rampung sebagai Gubernur Jakarta, Anies lantas dicapreskan oleh Partai Nasdem yang juga diikuti PKS dan Partai Demokrat. Oleh beberapa kalangan, Anies dianggap sebagai simbol perubahan dari rezim saat ini.
Refleksi
Adanya wacana antitesis antar calon presiden penting untuk dihidupkan. Wacana tersebut dapat memberikan gambaran terhadap pemilih dan mendorongnya untuk mempertimbangkan pandangan dan posisinya.
Selain itu, adanya wacana antitesis politik juga mendorong partai politik maupun para politisi agar bersaing dalam pemilu dengan lebih inovatif dalam menawarkan solusi terhadap isu-isu yang dihadapi masyarakat.
Antitesis politik juga menjadi salah satu pilar demokrasi yang penting. Di mana terdapat kebebasan untuk menyuarakan pandangan dan mengejar tujuan politik tanpa tekanan atau pengaruh yang negatif.
Meskipun demikian, wacana antitesis politik juga perlu dibarengi dengan dialog dan kompromi yang sehat. Jika antitesis politik terlalu kuat, maka dikhawatirkan dapat menyebabkan ketidakstabilan politik dan ketidakharmonisan sosial.
Oleh karena itu, penting bagi partai politik dan pemimpin politik untuk memperlakukan antitesis politik dengan bijak dan mengutamakan kepentingan publik dalam pengambilan keputusan.
Ibnu Nugroho
Analis Politik Badranaya Institute