• Berita Terkini

    Senin, 10 Juli 2023

    Sate Songging, Sudah Terkenal sejak Zaman Kolonial


    KEBUMEN(kebumenekspres.com)-Dukuh Songging Candiwulan Adimulyo, sudah terkenal sebagai Kampung Sate sejak zaman sebelum Indonesia Merdeka atau zaman kolonial hingga saat ini. Disini sebagian besar masyarakatnya berprofesi sebagai pedagang sate keliling dari kampung ke kampung. 


    Sate asal Desa Candiwulan Kecamatan Adimulyo tersebut memang memiliki ciri khas tersendiri. Dimana sate khas Dukuh Songging memiliki tekstur, rasa, dan bumbu yang berbeda dari kebayakan sate lainnya. 


    Menariknya disini menggunakan kupat sumpil, atau ketupat yang terbuat dari daun bambu sebagai pembungkusnya. Sate tersebut dibuat menggunakan daging ayam ataupun kambing yang disatukan dengan gula Jawa cair, sehingga memiliki rasa manis ketika dinikmati. 


    Tentunya, ini dilengkapi dengan kucuran bumbu kacang yang menggoda dan menambah cita rasa tersendiri. Bedanya, bumbu kacang yang disajikan bersama sate tersebut juga lebih kental dan memilih rasa berbeda dari bumbu sate lainnya. Ini dipertahankan sejak dulu dan tidak berubah hingga kini. 


    Rajino (51) salah seorang pedagang sate mengemukakan pihaknya telah berjualan sate sejak beberapa tahun lalu. Ia mendapatkan ilmu membuat sate yang diturunkan dari orang tuanya. Menurutnya, di Dukuh Songging terdapat sekitar 46 kepala keluarga yang berprofesi sebagai pedagang sate. 


    Dalam keluarganya sendiri terdapat dua orang yang kini berdagang sate, yakni dirinya dan kakak perempuannya. Ia juga mengaku merupakan generasi ke tiga, yang mempertahankan profesi sebagai pedagang sate. 

    Untuk berjualan sendiri, pihaknya selalu mangkal di Pasar Gropak Kecamatan Puring, dan telah memiliki pelanggan tersendiri. Bahkan setiap harinya, dalam berjualan bisa menghabiskan 7 kilogram daging ayam. 


    “Kalau saya berjualan di Pasar Gropak Puring. Setiap harinya berangkat pagi hingga habis.  Rata-rata dalam sehari sampai 7 kilogram daging ayam. Satu porsi rata-rata dijual dengan Rp 15 hingga Rp 20 ribu. Ini sudah lengkap sama ketupat,” katanya, baru-bau ini. 


    Sementara itu, Daeri orang tua Rajino mengatakan awal mula berdagang sate sejak tahun 1985. Waktu itu masih dijajakan keliling dengan cara dipikul di seputaran Kecamatan Gombong. Sedangkan untuk bumbu pembuatan sate tersebut didapatkan dari kakeknya, yang juga berdagang sate saat itu. 


    Dia menceritakan, dulu sate terbuat dari daging Itik ataupun daging mentok. Namun kini sudah menggunakan daging ayam negeri. Saat ini pihaknya sendri mengaku sudah pensiun dan membantu anaknya membuat sate di rumah. 

    Meski sudah pensiun sesekali Daeri juga masih berjualan di dekat desanya. Ini sekedar untuk untuk menyalurkan hobi yang sejak dulu digelutinya. Menurutnya, sejak dulu pelanggan yang membeli satenya tidak pernah dipathok harus beli satu prosi, akan tetapi sesuai permintaan tetap dilayani. 


    “Dulu diajari membuat sate dari kakek saya, turun temurun sampai anak saya. Dulu tahun 1985 sudah berjualan, kadang saya berjualan di pasar dekat sini, dulu jualan pake pikulan, terus ada sepeda pake sepeda dan sekarang anak saya udah menggunakan sepeda motor,” ucapnya. (mam)


    Berita Terbaru :


    Scroll to Top