Pemilu tahun 2024 yang telah kita laksanakan secara serempak pada 14 Februari 2024 lalu akan menentukan nasib bangsa ini dalam seluruh aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Kepemimpinan yang baru tentu akan membawa perubahan untuk menjawab berbagai tantangan yang dihadapi negara ini. Presiden dan Wakil Presiden terpilih dihadapkan pada sejumlah tantangan yang signifikan khususnya dalam konteks pemasyarakatan.
Presiden dan Wakil Presiden memiliki peran yang signifikan dalam mengelola dan mengarahkan kebijakan pemasyarakatan di Indonesia. Peran mereka tidak hanya terbatas pada aspek politik, tetapi juga berkaitan erat dengan upaya menjaga keamanan, ketertiban, dan kesejahteraan masyarakat. Dalam konteks pemasyarakatan, kepemimpinan presiden dan wakil presiden memainkan peran strategis dalam merumuskan kebijakan yang mendukung rehabilitasi, pencegahan kejahatan, dan perlindungan hak asasi manusia di dalam sistem hukum. Artikel ini akan mengeksplorasi tantangan yang dihadapi oleh presiden dan wakil presiden terpilih dalam menghadapi dinamika kompleks pemasyarakatan di Indonesia, dengan fokus pada analisis stakeholder.
Melalui pemetaan stakeholder ini bertujuan untuk mengidentifikasi potensi konflik kepentingan dan mencari solusi kolaboratif yang dapat diterapkan oleh presiden dan wakil presiden. Selain itu, analisis ini juga bertujuan untuk merumuskan konsep manajemen efektif yang dapat diterapkan dalam rangka mengatasi tantangan pemasyarakatan, meningkatkan efisiensi, serta memastikan penerapan kebijakan yang sesuai dengan kaidah hak asasi manusia. Dengan demikian, tujuan utama dari analisis ini adalah memberikan landasan bagi presiden dan wakil presiden terpilih untuk mengembangkan kebijakan yang holistik dan berkelanjutan dalam bidang pemasyarakatan guna menjawab tantangan-tantangan yang ada.
Sistem pemasyarakatan di Indonesia dihadapkan pada sejumlah permasalahan utama yang memerlukan perhatian dan tindakan serius dari pemerintah. Beberapa permasalahan yang menonjol meliputi overkapasitas, rendahnya efektivitas program rehabilitasi, ketidaksetaraan akses terhadap keadilan, serta isu-isu terkait dengan hak asasi manusia.
Overkapasitas menciptakan kondisi yang tidak manusiawi, menyulitkan pelaksanaan program rehabilitasi, dan meningkatkan risiko tindak kekerasan di dalam penjara. Selain itu, efektivitas program rehabilitasi yang masih rendah dapat menghambat upaya pemulihan dan reintegrasi narapidana ke dalam masyarakat. Overkapasitas merupakan tantangan serius yang harus menjadi perhatian utama karena persoalan ini terus menjadi penghambat tercapainya tujuan sistem pemasyarakatan sekaligus tujuan sistem peradilan pidana Indonesia. Data dari Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Februari 2024 menunjukkan bahwa total penghuni sebanyak 228.204 dengan kapasitas yang tersedia hanya 128.656 yang artinya terjadi overkapasitas sebesar 77%. Tantangan ini merupakan permasalahan menahun yang belum dapat diselesaikan hingga saat ini.
Ketidaksetaraan akses terhadap keadilan tercermin dalam disparitas antara mereka yang mampu memperoleh bantuan hukum dengan yang tidak. Hal ini dapat merugikan golongan yang kurang mampu secara ekonomi dan memunculkan kesenjangan sosial dalam sistem hukum. Sementara itu, isu hak asasi manusia berkaitan dengan kondisi penahanan yang tidak sesuai standar, kasus penyalahgunaan kekuasaan, serta perlakuan yang tidak manusiawi terhadap narapidana.
Jika permasalahan dalam sistem pemasyarakatan di Indonesia tidak ditangani secara efektif, dapat menyebabkan dampak negatif yang signifikan. Overcrowding dan kondisi penahanan yang buruk dapat mengakibatkan penumpukan narapidana dan kondisi penahanan yang tidak manusiawi. Ini berpotensi meningkatkan risiko konflik, kesehatan yang buruk, dan tindak kekerasan di dalam penjara. Rendahnya efektivitas rehabilitasi jika tidak diperbaiki, banyak narapidana mungkin tidak mendapatkan dukungan yang cukup untuk mempersiapkan diri kembali ke masyarakat. Hal ini dapat meningkatkan kemungkinan kembalinya narapidana ke dunia kejahatan setelah bebas.
Penting bagi pemerintah, termasuk presiden dan wakil presiden, untuk mengambil langkah-langkah tegas dalam mengatasi permasalahan ini agar sistem pemasyarakatan dapat berfungsi secara lebih efektif, adil, dan sesuai dengan standar hak asasi manusia. Hal tersebut dapat dilakukan dengan mendorong para stakeholder terkait untuk bersama-sama mewujudkan tujuan dari sistem pemasyarakatan.
Pemerintah Pusat dan Daerah memiliki peran dalam perumusan kebijakan, alokasi anggaran, dan pengawasan terhadap implementasi program pemasyarakatan. Kementerian Hukum dan HAM bertanggung jawab atas pelaksanaan kebijakan pemasyarakatan, manajemen lembaga pemasyarakatan, dan pengawasan terhadap keberlanjutan hak asasi manusia narapidana. Lembaga Pemasyarakatan yakni sebagai tempat pelaksanaan hukuman dan rehabilitasi bagi narapidana. Termasuk petugas lapas, penjaga, dan staf administratif. Kejaksaan dan Kepolisian berperan dalam proses penyidikan, penuntutan, dan pengawasan terhadap tahanan. Organisasi Non-Pemerintah (NGO) dan LSM memiliki peran dalam pengawasan, advokasi hak asasi manusia, serta memberikan dukungan dan bantuan kepada narapidana. Masyarakat dan keluarga narapidana mereka terlibat dalam reintegrasi sosial narapidana, dukungan, dan pemahaman terhadap tantangan yang dihadapi oleh keluarga narapidana. Identifikasi pihak-pihak ini penting dalam rangka menganalisis stakeholder dan mengembangkan kebijakan yang melibatkan kerjasama lintas sektor untuk mencapai tujuan pemasyarakatan yang lebih efektif.
Pemerintah Pusat dan Daerah berkepentingan menjaga keamanan dan ketertiban, menurunkan tingkat kriminalitas, serta memastikan sistem pemasyarakatan mendukung kebijakan nasional. Pengaruhnya besar dalam hal perumusan kebijakan, alokasi anggaran, dan koordinasi antarinstansi. Namun, mungkin masih terdapat hambatan birokrasi, dan terkadang terjadi kekurangan anggaran.
Kementerian Hukum dan HAM berkepentingan menjamin pelaksanaan hukuman dan rehabilitasi sesuai hak asasi manusia, serta memastikan kepatuhan lembaga pemasyarakatan terhadap regulasi. Kementerian ini bertanggung jawab langsung terhadap implementasi kebijakan pemasyarakatan. Tantangan yang dihadapi yakni dalam mengelola lembaga pemasyarakatan yang masih sulit terlepas dari permasalahan overkapasitas.
Lembaga Pemasyarakatan berkepentingan menjaga keamanan lembaga, menjalankan program rehabilitasi, dan memastikan kepatuhan terhadap peraturan internal. Lapas ini merupakan tempat pelaksanaan hukuman dan rehabilitasi yang memiliki kontrol langsung terhadap narapidana. Hambatan yang ada disini berkaitan dengan keterbatasan sumber daya dan tenaga kerja yang tersedia.
Kejaksaan dan Kepolisian berkepentingan menegakkan hukum, melakukan penyidikan, dan memberikan kontribusi dalam proses peradilan. Mereka menyediakan informasi dan bukti yang mendukung penanganan kasus pemasyarakatan. selain itu, kepolisian juga memiliki peran dalam pengawalan narapidana/tahanan seperti ketika akan menjalankan persidangan yang mengharuskan mereka keluar dari lapas.
Organisasi Non-Pemerintah (NGO) dan LSM berkepentingan melindungi hak asasi manusia, memastikan transparansi dan akuntabilitas, serta memberikan dukungan kepada narapidana. NGO Mampu melakukan pengawasan independen, advokasi, dan memberikan suara untuk kelompok yang rentan. Kendala yang dihadapi meliputi terbatasnya sumber daya dan terkadang konflik kepentingan dengan pihak pemerintah.
Masyarakat dan Keluarga Narapidana dapat menjadi faktor pendukung program reintegrasi sosial narapidana. Namun, di samping itu terkadang kurangnya informasi dan pemahaman terkait proses hukum menjadi kelemahan partisipasi mereka.
Hal ini memberikan gambaran tentang dinamika kompleks antara berbagai pihak terkait dalam sistem pemasyarakatan dan pentingnya mengelola kepentingan serta memanfaatkan kekuatan masing-masing stakeholder untuk mencapai perbaikan yang berkelanjutan. Hubungan antara kepentingan stakeholder dengan kebijakan presiden dan wakil presiden terpilih dalam bidang pemasyarakatan dapat menciptakan dinamika yang kompleks. Beberapa aspek krusial terkait hubungan ini melibatkan hal-hal yang dapat dijadikan pedoman untuk mengatasi tantangan- tantangan yang ada yang akan diuraikan di bawah ini.
Koordinasi dan konsultasi, Presiden dan wakil presiden perlu menjalin komunikasi terbuka dengan berbagai stakeholder, termasuk pemerintah daerah, lembaga pemasyarakatan, dan organisasi non-pemerintah. Konsultasi ini penting untuk memahami berbagai perspektif dan kebutuhan.
Penyusunan Kebijakan yang Holistik, kepentingan stakeholder, seperti pemerintah daerah yang menghadapi kelebihan kapasitas penjara atau LSM yang peduli terhadap hak asasi manusia, harus diakomodasi dalam penyusunan kebijakan pemasyarakatan. Presiden dan wakil presiden perlu merancang kebijakan yang holistik untuk mengatasi berbagai tantangan.
Alokasi Anggaran yang Efektif, kebijakan yang diusung presiden dan wakil presiden perlu memperhitungkan alokasi anggaran yang memadai untuk mendukung implementasi program pemasyarakatan. Ini melibatkan negosiasi dan koordinasi dengan pemerintah pusat dan lembaga terkait.
Pemberdayaan Masyarakat, hubungan yang baik dengan masyarakat dan keluarga narapidana dapat menciptakan dukungan untuk kebijakan rehabilitasi. Presiden dan wakil presiden perlu merancang kebijakan yang memfasilitasi pemberdayaan masyarakat dalam proses reintegrasi sosial narapidana.
Pengawasan dan Akuntabilitas, kebijakan harus menciptakan mekanisme pengawasan yang kuat untuk memastikan akuntabilitas dalam pelaksanaan pemasyarakatan. Keterlibatan organisasi non-pemerintah dan lembaga pemantau hak asasi manusia dapat mendukung transparansi.
Dengan mempertimbangkan kepentingan dan masukan dari berbagai stakeholder, presiden dan wakil presiden terpilih dapat mengembangkan kebijakan pemasyarakatan yang berkelanjutan, inklusif, dan berbasis pada prinsip-prinsip keadilan serta hak asasi manusia. Selain itu, untuk menciptakan perubahan positif diperlukan strategi holistik yang mencakup peningkatan kapasitas lapas, reformasi program rehabilitasi, perbaikan akses terhadap keadilan, dan peningkatan pengawasan terhadap hak asasi manusia dalam konteks pemasyarakatan.
Penulis Istiana Puji Utami
Mahasiswa Politeknik Ilmu Pemasyarakatan