Tiap menyusuri jalan panjang menuju arah Pemandian Air Panas Krakal, kerap kali para pengguna jalan tidak dapat mengalihkan pandangannya pada sebuah makam yang letaknya berada sendirian di tengah hamparan sawah. Tidak ada jalan lain selain harus menapaki pematang sawah terlebih dahulu agar dapat melihat makam secara lebih dekat.
Makam dengan cungkup khas Tionghoa ini teridentifkasi atas nama Tan Peng Nio. Banyak pula yang menjulukinya sebagai "Mulan van Java", merujuk pada figur karakter Mulan dalam film animasi Disney. Makam Tan Peng Nio memiliki bentuk Bong khas kuburan Tionghoa dengan empat pilar sangga dan cungkup yang terbuka.
Tan Peng Nio merupakan seorang pendekar wanita asal Tiongkok yang ikut terlibat dalam pertempuran melawan VOC (kongsi dagang Belanda). Selama pertempuran berlangsung, ia menyamar sebagai prajurit laki-laki. Tan Peng Nio juga dikenal sebagai istri ke-2 dari Kolopaking III yang saat itu menjabat sebagai pemimpin Panjer (cikal bakal Kebumen).
Tan Peng Nio hidup pada pertengahan abad ke-18, di mana teknologi fotografi belum diperkenalkan sehingga foto-foto wanita yang beredar di internet dengan keterangan nama Tan Peng Nio dapat dipastikan bukan sosok yang sebenarnya.
Tidak diketahui secara pasti asal usul Tan Peng Nio. Pendapat paling populer yang ditulis oleh Raden Tirto Wenang Kolopaking menyebutkan bahwa Tan Peng Nio adalah putri seorang jenderal perang dari Tiongkok bernama Tan Wan Swee yang melakukan pemberontakan gagal terhadap Kaisar Qianlong dari Dinasti Qing atau Dinasti Manchu yang berkuasa sekitar tahun 1735-1796. Namun, pendapat tersebut masih perlu ditelusuri kembali karena nama Tan Wan Swee tidak pernah muncul dalam sumber-sumber sejarah Tiongkok.
Ada kemungkinan bahwa Tan Wan Swee yang dimaksud adalah anak buah Souw Pan Chiang (Kapitan Sepanjang) bernama Tan Wan Swai yang ikut terlibat dalam pemberontakan 400 pasukan Tionghoa terhadap VOC. Ayah Tan Peng Nio ini juga dikenal sebagai tokoh berpengaruh yang mengajarkan seni bela diri Kuntao kepada masyarakat Kebumen.
Mengacu pada pendapat paling populer yang pertama, Tan Wan Swee yang sudah memperhitungkan pemberontakannya terhadap Kaisar Qianlong akan gagal, kemudian menitipkan putrinya Tan Peng Nio kepada sahabatnya, Lie Beeng Goe, seorang ahli pembuat peti mati dan ahli bela diri. Setelahnya, Tan Peng Nio menjalani pelarian bersama Lie Beeng Goe ke Singapura. Kemudian mereka berlabuh di Sunda Kelapa, pelabuhan kota Batavia (sekarang Jakarta).
Pada tahun 1740, kota Batavia sedang mengalami huru-hara yang dikenal dengan nama Geger Pecinan, sebuah tragedi pembantaian terhadap etnis Tionghoa oleh tentara VOC. Saat pembantaian terjadi, Tan Peng Nio dan Lie Beeng Goe mengungsi ke arah timur hingga akhirnya tiba di Kutowinangun, dan bertemu dengan seorang pembuat senjata bernama Kiai Honggoyudo. Kiai Honggoyudo berusaha menyembunyikan keberadaan Tan Peng Nio dan Lie Beeng Goe agar tidak diketahui musuh. Secara diam-diam, Kiai Honggoyudo juga melatih keduanya ilmu kanuragan sebagai bekal untuk menghadapi peperangan.
Peristiwa Geger Pecinan meluas ke berbagai wilayah. Raden Mas Garendi yang dikenal pula sebagai Sunan Kuning (bergelar Amangkurat V) dari Kerajaan Mataram Islam turut melakukan perlawanan terhadap VOC. Tan Peng Nio dikabarkan ikut bergabung ke dalam 200 tentara bentukan Sulaiman Kertowongso (kelak bergelar Kolopaking III) yang dikirim untuk ikut membantu pasukan Raden Mas Garendi melawan VOC. Saat itu, Tan Peng Nio dikabarkan menyamar sebagai prajurit laki-laki.
Seusai peperangan berakhir, Sulaiman Kertowongso terperangah setelah tidak sengaja melihat Tan Peng Nio membuka penutup kepalanya hingga rambutnya terurai panjang. Penasaran dengan sosok Tan Peng Nio yang sebenarnya, Sulaiman Kertowongso berinisiatif mengajak Tan Peng Nio untuk adu kesaktian dengan perjanjian siapa yang kalah harus mengikuti kemauan yang menang.
Dalam pertempuran antara keduanya, Sulaiman Kertowongso berhasil mengungguli Tan Peng Nio. Sesuai perjanjian awal, Sulaiman Kertowongso sebagai pihak yang menang meminta Tan Peng Nio untuk membuka penutup kepalanya hingga akhirnya terkuak identitas asli Tan Peng Nio sebagai seorang wanita. Sulaiman Kertowongso tidak dapat menahan kuasa melihat kecantikan Tan Peng Nio.
Pada akhirnya, Tan Peng Nio diperistri oleh Sulaiman Kertowongso, dan dikaruniai dua orang anak, yaitu Endang Kertowongso (putra) dan Mulat Ningrum (putri). Endang Kertowongso alias Tan Eng Kiat kelak akan menggantikan Kolopaking IV yang gugur dalam Perang Kupu Tarung (1831) saat berhadapan dengan pasukan Arung Binang IV, sedangkan Mulat Ningrum kemudian akan menurunkan keluarga Siem (Simadibrata).
Pertempuran antara Sulaiman Kertowongso dengan Tan Peng Nio mengakibatkan banyaknya pohon jati yang tumbang dan melintang di sepanjang Jalan Pangeran Bumidirjo. Masyarakat yang hendak berpergian ke Kebumen dari arah timur sering terhenti karena terhalang pohon-pohon jati yang tumbang dan melintang. Hingga akhirnya lambat laun masyarakat menyebut daerah tersebut dengan nama Jatimalang, artinya pohon jati yang melintang. Seiring berjalannya waktu, tempat ini sering digunakan oleh keduanya untuk memadu kasih sehingga dinamakan Jatimulyo yang berarti kemuliaan.
Berdasarkan informasi yang didapat dari Kepala Desa Jatimulyo, pohon jati melintang yang saat itu menutup akses ke Kebumen diyakini masih ada tetapi tertimbun cukup dalam. Konon, dahulu ada warga yang menggali sumur hingga kedalaman 10 meter dan secara tidak sengaja menemukan batang pohon jati yang melintang tersebut.
Sementara itu, ada versi lain yang menyebutkan bahwa Desa Jatimulyo terbentuk dari penggabungan desa-desa kecil sekitar. Penamaan Jatimulyo sendiri diambil dari banyaknya pohon jati yang tumbuh di kawasan ini.
Tan Peng Nio dikebumikan di Desa Jatimulyo, Kecamatan Alian, Kabupaten Kebumen, sesuai wasiatnya kepada Sulaiman Kertowongso apabila wafat dimakamkan di tempat keduanya sering bertemu. Sulaiman Kertowongso (Kolopaking III) sendiri dimakamkan bersama keluarga besarnya di kompleks makam Tumenggung Kolopaking, Desa Kalijirek, Kecamatan Alian, Kabupaten Kebumen, tidak jauh dari makam Tan Peng Nio.
Akan tetapi, tidak ada alasan yang pasti mengapa makam Tan Peng Nio terpisah dengan kompleks makam Tumenggung Kolopaking. Ada beberapa dugaan yang menyeruak. Pertama, berkaitan dengan perbedaan keyakinan. Kompleks makam Tumenggung Kolopaking merupakan kompleks pemakaman Islam, sedangkan makam Tan Peng Nio adalah makam khas Tionghoa. Kedua, Tan Peng Nio bukan istri utama Sulaiman Kertowongso (Kolopaking III) sehingga tidak dimakamkan dalam satu kompleks bersama. Terlepas dari dugaan-dugaan tersebut, saat ini baik makam Tan Peng Nio maupun kompleks makam Tumenggung Kolopaking sama-sama termasuk bagian dari Objek Diduga Cagar Budaya (ODCB) yang dilindungi oleh pemerintah.
Kedua anak Sulaiman Kertowongso (Kolopaking III) dengan Tan Peng Nio juga disemayamkan di lokasi yang berbeda. Endang Kertowongso dimakamkan di kompleks Bongpay Pejagoan dalam kondisi sudah tertutup rerumputan, sedangkan pusara Mulat Ningrum berada di kompleks Makam Sokarini, Desa Kedawung, Kecamatan Pejagoan, satu lokasi dengan makam Lie Beeng Goe.
Penulis: , Setyo Adi Nugroho
Founder Potret Lawas Kebumen