KEBUMEN (kebumenekspres.com)- Pemerhati kebijakan Kebumen Suratno, menyoroti keberadaan PKPU No. 13/2024 yang mengatur tentang Kampanye Pemilihan Gubernur Dan Wakil Gubernur, Bupati Dan Wakil Bupati, Serta Walikota dan Wakil Walikota
Aturan yang seharusnya menjadi pijakan pelaksanaan kampanye ini, dinilai Suratno, memberikan celah cukup besar bagi merebaknya praktek politik uang, termasuk Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada) Kebumen 2024
“Lahirnya Ketentuan PKPU Nomor 13 tahun 2024 tentang Kampanye Pemilihan Gubernur Dan Wakil Gubernur, Bupati Dan Wakil Bupati, Serta Walikota dan Wakil Walikota ternyata cukup memprihatinkan," ujarnya
"Sebab dalam PKPU tersebut justru memberikan ruang yang cukup leluasa untuk turut menyuburkan praktik bagi-bagi materi dan uang kepada pemilih” ungkapnya saat menyampaikan paparan materi Sosialisasi Pilkada di Kebumen dan Bimtek PKD di beberapa Kecamatan, baru-baru ini.
Suratno lantas mengutip Pasal 66 PKPU No. 13/2024 tentang Kampanye Pemilihan Gubernur Dan Wakil Gubernur, Bupati Dan Wakil Bupati, Serta Walikota dan Wakil Walikota.
Bunyi dan makna pasal-pasal inilah yang dimaksud Suratno tidak secara tegas menjelaskan definisi politik uang. Bahkan cenderung membuka peluang terjadinya praktek politik uang
Pasal 66 Ayat (1), misalnya, ujar Suratno memang secara jelas melarang adanya politik uang dalam gelaran Pilkada. Di sana disebutkan, Calon, dan/atau tim Kampanye dilarang menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya untuk memengaruhi penyelenggara Pemilihan dan/atau pemilih
Namun pada pasal-pasal berikutnya, definisi politik uang menjadi bias
Seperti pada ayat 3 misalnya yang berbunyi pasangan Calon dan/atau tim Kampanye selama masa Kampanye dapat memberikan biaya makan minum peserta Kampanye, biaya transportasi peserta Kampanye, biaya pengadaan bahan Kampanye pada pertemuan terbatas dan/atau pertemuan tatap muka dan dialog dan hadiah lainnya berdasarkan nilai kewajaran dan kemahalan suatu daerah.
Pun demikian pada Ayat (4) yang menyebutkan selain pada pertemuan terbatas dan/atau pertemuan tatap muka dan dialog sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Pasangan Calon dan/atau tim Kampanye selama masa Kampanye dapat memberikan biaya makan minum peserta Kampanye, biaya transportasi peserta Kampanye, biaya pengadaan bahan Kampanye, dan/atau hadiah lainnya pada rapat umum dan kegiatan lain yang tidak melanggar larangan Kampanye dan hadiah lainnya berdasarkan nilai kewajaran dan kemahalan suatu daerah.
Ayat berikutnya pun senada. Dalam Ayat (5) disebutkan Pasangan Calon dan/atau Tim Kampanye dapat memberikan hadiah dalam pelaksanaan Kampanye sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) dengan ketentuan: a. dalam bentuk barang; dan b. nilai setiap barang sebagaimana dimaksud dalam huruf a paling banyak Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah).
Sedangkan bunyi Ayat (6) menyebutkan biaya makan minum peserta Kampanye, transportasi peserta Kampanye, dan pengadaan bahan Kampanye bagi peserta Kampanye sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) tidak diberikan dalam bentuk uang tunai.
Dengan ketentuan pada pada PKPU 13/2024 ini, beber Suratno, dapat diartikan pemberian berupa barang/materi sepanjang memenuhi batas kewajaran diperbolehkan, dan pemberian uang pengganti makan minum atau biaya transportasi sepanjang tidak dalam bentuk uang tunai, maka membuka peluang adanya transaksikeuangan non tunai, seperti bentuk kupon, surat berharga atau uang elektronik atau transaksi digital (transfer)
“Dengan ketentuan baru ini, agaknya menyadarkan kita, bahwa regulasi telah merespon kondisi masyarakat dan para pelaku politik di negeri ini yang menginginkan uang/materi lainnya sebagai salah media meraup suara pemilih, disatu sisi menjadi renungan adanya regulasi yang tidak sejalan dengan aturan diatasnya,” jelasnya.
Aturan baru ini, dinilai Suratno berbeda dengan ketentuan pidana sebagaimana UU No, 10/2016 tentang Pemilihan Gubernur Dan Wakil Gubernur, Bupati Dan Wakil Bupati, Serta Walikota dan Wakil Walikota. Pada UU tersebut, praktik politik uang atau materi lainnya diatur dalam pasal 187A ayat (1) dan (2) dengan klausul cukup tegas
Pada UU tersebut, praktik politik uang atau materi lainnya diatur dalam pasal 187A ayat (1) dan (2) dengan klausul cukup tegas, yaitu : Pasal 187A Ayat (1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada warga negara Indonesia baik secara langsung ataupun tidak langsung untuk mempengaruhi Pemilih agar tidak menggunakan hak pilih, menggunakan hak pilih dengan cara tertentu sehingga suara menjadi tidak sah, memilih calon tertentu, atau tidak memilih calon tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 36 (tiga puluh enam) bulan dan paling lama 72 (tujuh puluh dua) bulan dan denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
Ayat (2) Pidana yang sama diterapkan kepada pemilih yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Ketentuan pidana tentang praktik politik uang sebagaimana UU N0. 10/2016 tersebut, memberikan ketegasan penanganannyabagi lembaga penegak demokrasi bangsa, Bawaslu dan jajarannya.
Dengan kondisi ini, Suratno khawatir praktek politik uang bakal merajalela di Pilkada 2024. Terlebih, pelaksanaan Pemilu Legislatif dan Pilpres beberapa waktu lalu, 14 Februari 2024, terasa masih menyisakan catatan dengan maraknya praktik politik uang yang cukup masif, namun tidak satupun dapat diangkat menjadi kasus money politik.
Potret pemilihan umum kemarin bisa menjadi ilustrasi pelaksanaan Pilkada serentak 2024 di Kabupaten Kebumen, yang akan digelar pada tanggal 27 November 2024 mendatang. Dalam proses itu, diakui atau tidak, praktek politik uang cukup marak namun minim yang bisa diproses atau ditindak
"Saat ini tahapan Pilkada 2024 ini memasuki tahapan paling krusial yaitu tahapan masa kampanye, dimana praktek money politik semakin bias diera teknologi saat ini, ragam dan semakin tidak terlihat bentuknya sehingga butuh kejelian dan keberanian bagi pengawas,” katanya.